Rabu, 28 Agustus 2013

Sosio-emosional Anak

Oleh:
JAKA WISNU SAPUTRA
NIM: 09030262
STKIP SILIWANGI

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peran orangtua untuk memenuhi kebutuhan dasar anak terutama dalam pola asuhnya.
Penelitian ini membahas tentang pemecahan masalah untul Pola Asuh Orangtua yang Bekerja terhadap Sosial Emosional Anak Usia 4-5 Tahun.di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Dalam penyusunan Penelitian ini penulis menggunakan metode studi kasus. Teknik pengumpulan datanya meliputi observasi, merumuskan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data, menyimpulkan hasil penelitian dan menyusun laporan, dengan tujuan penulis dapat mengetahui dan mempelajari tingkah laku dan kebiasaan masyarakat khususnya pola asuh orangtua terhadap anak. Sementara untuk pengembangannya melakukan metode populasi dan sampel.
Hasil dari analisis data ini dibuatkan kerangka dari angket-angket yang dikumpulkan dan solusi untuk memenuhi kebutuhan dasar anak dalam bidang pengasuhan di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam kegiatan masyarakat sehari-hari terutama untuk pola asuh orangtua.

PENDAHULUAN

Pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Dalam jalur pendidikan informal dikenal dengan jalur pendidikan yang ada di dalam suatu keluarga dan lingkungannya. Dalam pelaksanaannya, pendidikan anak dalam keluarga mempunya peran menentukan bagi pencapaian mutu sumber daya manusia . hal ini di karenakan memlalui pendidikan keluarga, individu pertama kali mempelajari dan mengenal sistem nilai budaya yang berwujud aturan-aturan khusus, norma, kebiasaan dan teladan dari masyarakat lain.
Antara pendidikan dengan keluarga adalah dua istilah yang tidak bisa di pisahkan , sebab dimana ada keluarga disitu ada pendidikan. Orang tua dan anak tidak dapat dipisahkan, itu semua merupakan satu keharusan yang ada di dalam keluarga. Pendidikan yang berlangsung didalam keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga ini dapat tercapai dan di harapkan adanya kesadaran setiap masyarakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini dalam keluarga. Serta kecerdasan orang tua mempunyai kesadaran bahwa mereka memiliki peran penting dalam mendidik anak didalam keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak di peroleh terutama melalui interaksi antara orang tua-anak. Dalam pola usaha orang tua akan menunjukan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan pendidikan terhadap anaknya, oleh karena itu keluarga mempunyai peranan penting dalam mengembangkan potensi anak.
Disebut sebagai lembaga pertama karena pada umumnya setiap anak dilahirkan dan kemudian dibesarkan pada awal pertama dalam lingkungan keluarga. Kemudian dibesarkan pada awalnya pertama dalam lingkungan keluarga kemudian disebut sebagai lembaga utama bagi anak, karena atau sering disebut masa golden age. Karena itulah keluarga dipandang sebagai lembaga pertama dan utama bagi anak.
hubungan anak dengan orang tua dan anggota lain sering di angap sebagai sistem atau jaringan yang saling berinteraksi.sistem tersebut berpengaruh pada anak baik secara langsung maupun tidak langsung,melalui sikap dan carapengasuhan anak oleh tua.mengasuh anak bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik ataau jasmaninya saja,melainkan juga pada pemenuhan optimalisasi perkmbangan yang lain emoso,social,bahasa,motorik dan kognifif.
peran keluarga dalam pendidikan anak usia dini sangatlah besar,terutama pada jalur pendidikan informal.anak lebih banyak menghabskan waktunya di rumah dari pdada di luar rumah sehingga di butuhkan pengawasan serta perhatian lebih dari orang tua,terutama di bawah anak berusia 5 tahun.memiliki peran yang sangat besar di dalam hal menentukan karakter dan memeksimalkan kecerdasan anak.oleh karena itu di perlukan pola asuh yang dapat memaksimalkan kecerdasan yang harus di miliki oloeh seorang anak.pola asuh secara umum diarahkan pada cara orang tua memperlakukan anak dalam berbagai hal,baik dalam berkomunikasi,mendisiplinkan,memonitor,mendorong pola asuh yang tepat sesuai dengan perkembangan anaknya,agar anak mempersepsikan pola asuh yang di berikan kepadanya dengan baik.pola asuh adalah sikap orang tua dalam membingbing anak-anaknya.perlakuan orang tua seorang anak akan mempengaruhi bagai mana anak itu memandang,menilai,dan juga mempengaruhi seorang anak tersebut terhadap orang tua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka.orang tua yang satu dengan yang lain memberikan pola asuh yang berbeda dalam membimbing
dan mendidik anak-anaknya.
Pada saat sekarang yang terjadi kenyataannya adalah berkurangnya perhatian kepada anak di karenakan orang tuanya bekerja.hal tersebut mengakibatkan terbatasnya hubungan interaksi orang tua dengan anaknya.anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya di karenakan keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.sedangkan pada usia ini anak sangat membutuhkan perhatian lebih dari orang tuanya terutama untuk perkembangan kepribadiannya.anak yang di tinggal orang tuanya bekerja cenderung ersikap manja.basanya orang tua akan merasa bersalah karena telah meninggalkan anaknya seharian.sehingga orang tua akan memenuhi semua permintaan anaknya untuk menebus kesalahannya tersebut,tanpa berfikir permintaan anaknya baik atau buruk untuk perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
             Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua.melalui  orang tua,anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yangf berlaku di lingkungannya.ini di sebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Salah satu aspek yang enting untuk di kembangkan pada anak usia prasekolah adalah aspek perkembangan social emosional.hal tersebut dikarenakan perkembangan social emosional yang berkembang dengan sehat dan memperoleh dukungan positif akan menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan anak tersebut kemudian hari.
setiap anak atau individu mempunyai emosi yang berbeda.ada yang bisa mengontrol emosinya dan ada pula yang kurang bisa.pada saat bayi pun,emosi bisa terlihat dari yang menangis saat di gendong orang tua yang belum dikenalnya hinga belajar mengasimilasi peristiwa agar sesuai dengan struktur mentalnya.perkembangan emosional anak di pengaruhi oleh lingkungan social dan bagai mana orang lain bereaksi terhadapnya.sosialnya emosi berlangsung secara bertahap dan melaui proses penguatan dan modeling.keluarga sebagai tempat di mana anak memperoleh pengalaman pertamanya sangat menentukan perkembangan sosio-emosional anak.cara pengasuhan orang tua menentukan kepribadian anak kelak.
Kondisi keluarga yang memiliki anak usia 4-5 tahun di kampung sukanagara , Rw 04 pagerwangi kecamatan lembang kabupaten bandung barat, anak-anak tersebut selalu ditinggal oleh orang tuanya bekerja dari pagi hari sampai sore hari. Anak-anak tersebut sudah terbiasa dengan kondisi tersebut ,tetapi hal tersebut bisa berampak buruk bagi perkembangan mereka,khususnya perkembangan social dan emosional anak tersebut, terkadang terdapat orang tua yang mengajak anaknya yang masih berusia dini untuk ikut kerja ke tempatnya bekerja,sehingga banyak anak usia dini yang tidak mengikuti program pendidikan anak usia dini.hal itu mengakibatkan banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan tugas perkembangan anaknya sendiri.dan pada umumnya orang tua memiliki kesulitan dalam penerapan pola asuh orang tua terhadap anak,sehingga pola asuh yang diberikan orang tua belum optimal.
Sehubungan dengan masalah yang telah diuraikan diatas,maka penulis tertarik untuk untuk mengambil topic mengenai”pola asuh orang tua yang bekerja terhadap perkembangan social emosional anak usia 4-5 didesa pagerwangi kecamatan lembang kabupaten bandung barat.(studi kasus terhadap keluarga pekerja yang memiliki anak usia prasekolah dipedesaan)”

PEMBAHASAN

Pengertian Pola Asuh

a. Demokratis 
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. orang tua tipe ini  juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. (Ira Petranto, 2005). Misalnya ketika orang tua menetapkan untuk menutup pintu kamar mandi ketika sedang mandi dengan diberi penjelasan, mengetuk pintu ketika masuk kamar orang tua, memberikan penjelasan perbedaan laki-laki dan perempuan, berdiskusi tentang hal yang tidak boleh dilakukan anak misalnya tidak boleh keluar dari kamar mandi dengan telanjang, sehingga orang tua yang demokratis akan berkompromi dengan anak. (Debri, 2008). 
b. Otoriter- Pengertian Pola Asuh Menurut Para Ahli
Pola asuh ini sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman mislalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. (Ira Petranto, 2005). Misalnya anaknya harus menutup pintu kamar mandi ketika mandi tanpa penjelasan,  anak laki-laki tidak boleh bermain dengan anak perempuan, melarang anak bertanya kenapa dia lahir, anak dilarang bertanya tentang lawan jenisnya. Dalam hal ini tidak mengenal kompromi. Anak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus memenuhi target yang ditetapkan orang tua. Anak adalah obyek yang harus dibentuk orang tua yang merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk anak-anaknya. (Debri, 2008).
c. Permisif 
Pola asuh ini memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur / memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. (Ira Petranto, 2005). Misalnya anak yang masuk kamar orang tua tanpa mengetuk pintu dibiarkan, telanjang dari kamar mandi dibiarkan begitu saja tanpa ditegur, membiarkan anak melihat gambar yang tidak layak untuk anak kecil, degan pertimbangan anak masih kecil. Sebenarnya, orang tua yang menerapka pola asuh seperti ini hanya tidak ingin konflik dengan anaknya. (Debri, 2008).
Karakteristik Anak Dalam Kaitannya dengan Pola Asuh Orang tua 
  1. Pola asuh demokratis akan menghasikan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress,  mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain.
  2. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. 
  3. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial (Rina M. Taufik, 2006).
 Faktor Utama yang Mempengaruhi Pola Asuh
a. Budaya
Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka  berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka.
b. Pendidikan Orang Tua 
Orang tua yang memiliki  pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak.
c. Status Sosial Ekonomi
Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam  mengasuh anak (Hurlock, E,B 2002).
Konsep Pola Asuh Orangtua
  Definisi
  • Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak,yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk cara penerapan aturan,mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Theresia,2009)
  • Pola Asuh menurut agama adalah cara memperlakukan anak sesuai dengan ajaran agama berartimemehami anak dari berbagai aspek,dan memahami anak dengan memberikan ola asuh yang baik ,menjaga anak dan harta anak yatim, menerima, mamberi perlindungan, pemeliharaan, perawatan dan kasih sayang sebaik – baiknya (QS Al Baqoroh:220)
Dari beberapa pengertian maka yang dimaksud pola asuh dalam penelitian ini adalah cara orang tua bertndak sebagai suatu aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik secara individu atau bersama – sama sebagai serangkaian usaha aktif untuk mengarahkan anaknya.
Bentuk Pola Asuh
Macam – macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind,(dikutip oleh Wawan Junaidi,2010), terdapat 4 macam pola asuh orang tua :
              (1). Pola Asuh Demokratis
  • Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
(2). Pola asuh Otoriter
  • Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
(3). Pola asuh Permisif
  • Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
(4). Pola asuh Penelantar
  • Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.
Dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak – anak menurut Baumrind, (dikutip oleh Ira, 2006) adalah:
  • Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak - anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain.
  • Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
  • Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.
  • Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri yang rendah, sering bolos dan bermasalah dengan teman.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh :
Setiap orang mempunyai sejarah sendiri – sendiri dan latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat memungkinkan terjadinya pola asuh yang berbeda terhadap anak. Menurut Maccoby & Mc loby ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu:
  • Sosial ekonomi
  • Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang sosial ekonaminya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali karena terkendala oleh status ekonomi.
  • Pendidikan: Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik formal maupun non formal kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada anaknya.
  • Nilai-nilai agama yang dianut orang tua: Nilai – nilai agama juga menjadi salah satu hal yang penting yang ditanamkan orang tua pada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga keagamaan juga turut berperan didalamnya.
  • Kepribadian: Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2002). Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.
  • Jumlah anak: Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, (Okta Sofia, 2009).
Pola Asuh Orang Tua Dalam Keluarga
  • Dalam kehidupan sehari-hari orang tua secara sadar atau tidak memberikan contoh yang kurang baik terhadap anaknya.misalnya meminta tolong dengan nada mengancam, tidak mau mendengarkan cerita anak tentang sesuatu hal, member nasihat tidak pada tempatnya dantidal pada waktu yang tepat, berbicara kasar pada anak,terlalu mementingkan diri sendiri, tidak mau mengakui kesalahan yang telah dilakukan.Beberapa contoh sikap dan perilaku diatas berdampak negative terhadap perkembangan jiwa anak.Sehingga efek negative yang terjadi adalah anak memiliki sikap keras hati,manja, keras kepala, pemalas, pemalu dam lain- lain.Semua perilaku diatas dipengaruhi oleh pola pendidikan orng tua .Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa ana.Tipe kepemimpinan orang tua berdampak pada pol aasuh yamg terhadap anaknya,Disisi lain pola asuh orang tua bersifat demikkratis atau otoriter, atau bahkan pada sisis lain bersifat laissez faire atau tipe campuran antara demokratis dan otoriter, (Syaiful, 2004
Pola Perlakuan orang tua
(1). Overprotection (terlalu melindungi)
Perilaku Orang Tua:
  • Kontak berlebihan pada anak
  • Pemberian bantuan yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu sendiri
  • Pengawasan kegiatan anak yang berlebihan
  • Memecahkan masalah anak
Profil Tingkahlaku Anak:
  • Perasaan tidak aman
  • Agresif dan dengki
  • Mudah merasa gugup
  • Melarikan diri dari kenyataan
  • Sangat tergantung
  • Ingin menjdi pusat perhatian
  • Bersikap menyerah
  • Kurang mampu mengendalikan emosi
  • Menolak tanggung jawab
  • Suka bertengkar
  • Sulit bergaul
  • Pembuat onar (troubelmaker)
(2). Pola Perilaku Orangtua: Permissiveness (pembolehan)
Perilaku Orangtua
  • Memberikan kebebasan untuk berfikir
  • Menerima pendapat
  • Membuat anak lebih diterima dan merasa kuat
  • Toleran dan memahami kelemahan anak
  • Cenderung lebih suka member yang diminta anak daripada menerima
Profil Tingkahlaku Anak
  • Pandai mencari jalan keluar
  • Dapat bekerjasama
  • Percaya diri
  • Penuntut dan tidak sabaran
             (3). Pola Perilaku Orangtua: Rejection (Penolakan)
Perilaku Orangtua
  • Bersikap masa bodoh
  • Bersikap kaku
  • Kurang memperdulikan kesejahteraan anak
  • Menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak
Profil Tingkahlaku Anak
  • Agresif(mudah mara,gelisah, tidak patuh, suka bertengkar dan nakal)
  • Submissive(kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut)
  • Sulit bergaul
  • Pendiam
  • Sadis
(4). Pola Perilaku Orangtua: Acceptance (penerimaan)
               Perilaku Orangtua
  • Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus pada anak
  • Menempatkan anak pada posisi yang penting di dalam rumah
  • Mengebangkan hubungan yang hangat dengan anak
  • Bersikap respek terhadap anak
  • Mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya
  • Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya
Profil Tingkahlaku Anak
  • Mau bekerjasama
  • Bersahabat
  • Loyal
  • Emosinya stabil
  • Ceria dan bersikap optimis
  • Mau menerima tanggung jawab
  • Jujur
  • Dapat dipercaya
  • Memiliki perencanaan baik di masa depan
  • Bersikap realistic (memahami kelebihan dan kekurangan secara obyektif)
(5). Pola Perilaku Orangtua: Domination (dominasi)
Perilaku Orangtua
  • Mendominasi Anak
Profil Tingkahlaku Anak
  • Bersikap sopan dan sangat hati-hati
  • Pemalu, penurut, dan mudah bingung
  • Tidak dapat bekerjasama
(6). Pola Perilaku Orangtua: . Submission (penyerahan)
Perilaku Orangtua
  • Selalu memberi sesuatu yang diminta anak
  • Membiarkan anak berperilaku semaunya sendiri
Profil Tingkahlaku Anak
  • Tidak patuh
  • Tidak bertanggung jawab
  • Agresif dan teledor
  • Bersikap otoriter
  • Terlalu percaya diri
(7). Pola Perilaku Orangtua: Punitiveness/Overdiscipline (terlalu disiplin)
Perilaku Orangtua
  • Mudah memberikan hukuman
  • Menanamkan kedisiplinan sangat keras
Profil Tingkahlaku Anak
  • Impulsif
  • Tidak dapat mengambil keputusan
  • Nakal
  • Sikap bermusuhan atau gresif
Sumber: dari Syamsu Yusuf. 2009 dalam Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja
Dari ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak bahwa sikap . acceptance merupakan yang paling baik untuk dimiliki atau dikembangkan oleh orang tua (Syamsu, 2009)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind mengemukakan dua hasil penelitian yaitu : (1) ada 4 gaya perlakuan orang tua yaitu: Authoritarian, permissive, authoritative, dan negalectfull. (2) dampak gaya perlakuan orang tua terhadap perilaku anak
Pengaruh Parenting Style terhadap Perilaku Anak
(1). Parenting Style: Authoritarian
Sikap atau Perilaku Orang Tua
  • Sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tinggi.
  • Suka menghukum secara fisik
  • Bersikap mengomando (mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)
  • Bersikap kaku (keras)
  • Cenderung emosional dan bersikap menolak
Profil Tingkah Laku Anak
  • Mudah tersinggung
  • Penakut
  • Pemurung, tidak bahagia
  • Mudah terpengaruh
  • Mudah stres
  • Tidak mempunyai arah masa depan
  • Tidak bersahabat
(2). Parenting Style: Permisiveness
               Sikap atau Perilaku Orang Tua
  • Sikap acceptancenya tingi, namun kontrolnya rendah
  • Memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan / keinginannmya.
Profil Tingkah Laku Anak
  • Bersikap impulsif dan agresif
  • Suka memberontak
  • Kurang memikliki rasa percaya diri dan pengendalian diri
  • Suka mendominasi
  • Tidak jelas arah hidupnya
  • Prestasinya rendah
(3). Parenting Style: Authoritative
Sikap atau Perilaku Orang Tua
  • Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi.
  • Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak
  • Mendorong anak untuk menyatakan pendapat
  • Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk
Profil Tingkah Laku Anak
  • Bersikap bersahabat
  • Memiliki rasa percaya diri
  • Mampu mengendalikan diri
  • Bersikap sopan
  • Mau bekerjasama
  • Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
  • Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas
  • Berorientasi terhadap prestasi
Sumber: dari Syamsu Yusuf. 2009 dalam Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja
Anak Prasekolah
Definisi Anak Prasekolah
  • Anak Prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun (Biechler dan Snowman,)
  • Anak yang terkategori para sekolah adalah anak dengan usia 3-5 tahun, (Elizabeth B. Hurlock )mengatakan bahwa kurun usia pra sekolah disebut sebagai masa keemasan (the golden age).
Perkembangan Anak Prasekolah
  • Menurut Hurlock mengemukakan bahwa lima tahun pertama disebut dengan The Golden Years. Anak mengalami kecepatan kemajuan yang sangat cepat. Tidak hanya fisik tetapi juga secara sosial dan emosional. Anak bukan seoarang bayi lagi melainkan seorang yang sedang dalam proses awal mencari jati dirinya. Anak sudah menjadi cikal bakal manusia dewasa. Anak sulit diatur dan mulai sadar bahwa dirinya juga manusia yang mandiri.
Ciri – ciri masa kanak – kanak awal dapat diuraikan sebagai berikut:
  • Masa kanak – kanak awal merupakan masa “Preschool Age”. Masa ini adalah masa anak sebelum anak masuk pendidikan formal (SD).
  • Masa kanak – kanak awal merupakan masa “ Pregang Age”
  • Masa ini anak belajar dasar – dasar dari tingkah laku untuk mempersiapkan dirinya bagi kehidupan bersama.
  • Masa kanak – kanak awal merupakan masa “Hunter Age”
  • Masa ini anak senang menyalidiki dan ingin tahu apa yang ada disekitarnya.
  • Masa kanak – kanak awal merupakan masa “Problem Age”
  • Anak menunjukkan banyak problem tingkah laku yang harus diperhatikan oleh orang tua.
Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak
  • Beberapa peran keluarga dalam pengasuhan anak adalah sebagai berikut:
  • Terjalinnya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui penerapan pola asuh islami sejak dini, yakni:
  • Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Ada tuntunan bagi orangtua laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai tuntunan agama dengan maksud bahwa orangtua yang baik kemungkinan besar akan mampu mengasuh anak dengan baik pula.
  • Pengasuhan dan perawatan anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa dewasa dan seterusnya diberikan dengan memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak beragama menyembah Allah SWT.
  • Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak,terutam pendidikan agama. Orangtua yang salih adalah model terbaik untuk memberi pendidikan agama kepada anak-anak. Penanaman jiwa agam yang dimulai dari keluarga, semenjak anak masih kecil dengan cara membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik. Dengan mencontoh keteladanan Rasulullah SAW adalah dengan menanamkan nilai-nilai akhlakul kharimah.
  • Agama yang ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan tetapi bagaimana anak mampu mencapai kesadaran pribadi untuk ber-Tuhan sehingga melaksanakan semua aturan agama
  • Kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua dapat mengantarkan kesuksesan anak. Begitu pula memupuk kesabaran anak sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang penting dalam hidup manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik maka seseorang akan mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupannya.
  • Secara psikologis dapat ditelusuri bahwa bila anak dilatih untuk memiliki sifat sabar dengan bekal agama yang dimiliki akan berimplikasi positif bagi kehidupan anak secara pribadi dan bagi orang lain/masyarakat secara luas, diantaranya:
  • Mewujudkan keselehan sosial dan kesalehan individu yaitu dengan terwujudnya kualitas keimanan pada individu dan masyarakat yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Seseorang yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi memiliki empati, sosialisasi diri, kesetiakawanan, keramahan, mengendalikan amarah, kemandirian, sikap ketenangan dan teratur berfikir serta cermat bertindak. Sikap yang ditunjukkan akibat kesabaran diri akan membuat individu mudah bergaul, dengan rasa aman dan damai, tanpa kekerasan. Sikap tersebut akan mampu memupuk konsep diri seseorang.
  • Dapat membina hubungan yang baik antar individu dan punya semangat persaudaraan.
  • Saat seseorang dalam kesabaran akan bertumpu pada nilai ketaqwaan dan ketaatan pada Allah SWT. Seseorang yang berada dalam keimanan dan ketaqwaan sebagaimana janji Tuhan akan memiliki jiwa yang tenang. Dalam jiwa seorang yang tenang akan menstabilkan tekanan pada amygdale (system saraf emosi), sehingga emosi stabil. Dalam keadaan emosi yang stabil, seorang mudah mengedalikan diri dengan baik.
  • Orangtua wajib mengusahakan kebahagian bagi anak dan menerima keadaan anak apa adanya, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT , serta mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Orangtua perlu tahu bahwa anak memiliki potensi yang luar biasa dan kesuksesan seseorang bukan mutlak ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja (hanya sekedar IQ tinggi) akan tetapi kecerdasan itu bersifat majemuk.
  • Menurut Gardner bahwa pada diri anak dikenal istilah multiple intellegensi/kecerdasan ganda, yaitu:
  • Kecerdasan linguistik: meliputi kemampuan dalam hal mengarang, membaca maupun berkomunikasi verbal. Tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh mereka yang berprofesi maupun orator.
  • Kecerdasan logika-matematika. Jenis kecerdasan ini dapat membantu seseorang menemukan solusi persoalan yang melibatkan perhitungan angka.
  • Kecerdasan visual-spasial. Tipe kecerdasan ini memudahkan seseorang untuk menemukan arah, menggunakan peta dan melihat objek dari berbagai sudut.
  • Kecerdasan gerak tubuh/kinestesis. Pada tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh olahragawan, penari,pemahat maupun dokter bedah.
  • Kecerdasan musical. Tipe kecerdasn ini berkembang dengan sangat baik pada musisi, penyanyi dan composer.
  • Kecerdasan interpersonal. Tipe kecerdasn ini memudahkan seseorang untuk memahami dan bekerja dengan dirinya sendiri.
  • Kecerdasan intrarpersonal. Tipe kecerdasan ini adalah adany kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
  • Kecerdasan natural. Tipe kecerdasan ini adalah adanya kemampuan untuk bekerjasama dan menyelaraskan diri dengan alam.
  • iKecerdasan spiritual dan kecerdasan eksistensial.
  • Mendisiplinkan anak dengan kasih sayang secara bersikap adil.
  • Komunikatif dengan anak. Membicarakan hal yang ingin diketahui anak, dengan menjawab pertanyaan anak secara baik, misalkan; membicarakan pendidikan seks dan orangtua penting memberikan pendidikan seks sejak dini.
  • Memahami anak dengan segala aktivtasnya, termasuk pergaulannya, (Rifa, 2009)
A.      Konsep keluarga
1.       Pengertian keluarga
Keluarga berasal dari bahasa sansekerta “Kulawarga” . Kata kula berarti “ras” dan warga yang berarti “anggota”. (Wikipedia) Keluarga adalah lingkungan dimana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok social terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu tersebut.
                Khairudin (2008:4) keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat . secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mampunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan .
                Menurut Departemen Kesehatan RT (1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang teridiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
                Demikianlah kita melihat bahwa pengertian keluarga ada yang dikaitkan dengan hubungan darah dan ada yang dikaitkan dengan hubungan social. Baik keluarga yang didasarkan pada hubungan darah maupun keluarga yang dikaitkan dengan hubungan social dapat kita temukan dalam arti luas dan dalam artian sempit.
                Menurut soelaeman (1994:6) arti keluarga dalam hubungan social tampil dalam berbagai jenis. Ada yang berkaitan dengan wilayah geografis yang menunjukan dimana mereka berada atau dari mana mereka berasal, ada pula keluarga yang di samping pengaitan dengan wilayah geografis juga diwarnai pengaitan dengan silsilah atau keturunan, ada pula yang merujuk kepada golongan masyarakat berkaitan dengan lingkungan kerja, dan ada pula yang berkaitan dengan pola kehidupan dan pencaharian.
                Dalam arti luas, keluarga yang berkaitan dengan hubungan meliputi semua pihak yang ada hubungan darah sehingga sering tampil sebagai arti clan atau marga; dalam kaitan inilah dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga.
                Dalam kehidupan sehari hari kita temukan pula istilah keluarga itu diartikan sebagai keluarga besar atau extended family yang disamping ayah-ibu-anak termasuk pula ke dalamnya paman, bibi , kakek, nenek, cucu, dan sebagainya yang kadang-kadang dinamai kerabat . sedangkan dalam artian sempit, keluarga yang didasarkan pada hubungan darah dan terdiri atas ayah-ibu-anak, dijuluki dengan istilah keluarga inti atau nuclear family. Maksudnya dari persekutuan hidup yang tinggal dan hidup bersama dalam rumah itu, pasangan suami-istri yang berfungsi dan berperan sebagai ayah-ibu dan anak yang lahir dari hubungan mereka sebagai suami-istri yang merupakan inti dari kehidupan tersebut.
2.       Ciri-ciri keluarga
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal hal yang berkaitan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Walaupun dalam menentukan atau mencari persamaan dan perbedaan pada semua keluarga, terdapat cirri-ciri secara umum dan khusus yang akan terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun.
a.       Ciri-ciri umum
Ciri-ciri umum seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Page dalam khairudin (2008:6) yaitu :
1)      Keluarga merupakan hubungan perkawinan;
2)      Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara;
3)      Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan;
4)      Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak;
5)      Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.
Burgess dan locke dalam khairudin (2008:6) mengemukakan empat karakteristik lembaga keluarga, yakni sebagai berikut:
a)      Keluarga merupakan kesatuan orang yang diikat malalui jenjang perkawinan untuk melanjutkan fungsi reproduksi.
b)      Keluarga memiliki anggota keluarga yaitu suami istri anak atau saudara yang berada dalam satu naungan rumah tangga.
c)       Anggota keluarga memiliki peranan social masing-masing sesuai dengan norma yang berlaku.
d)      Keluarga berfungsi untuk memelihara kebudayaan yang pada prinsipnya berakar dari masyarakat


b.      Ciri-ciri khusus
Menurut khairudin (2008:7) dari seluruh organisasi, kecil maupun besar yang terdapat didalam masyarakat, tidak ada yang lebih penting dari keluarga dalam intensitas pengertian sosiologisnya. Organisasi keluarga ini dalam beberapa hal tidaklah sama dengan asosiasi lainnya, disamping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu organisasi lazimnya, keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :

1)      Kebersamaan, diantara bentuk-bentuk organisasi social yang lain keluarga merupakan bentuk yang paling universal, yang dapat ditemukan dalam semua masyarakat.
2)      Dasar-dasar emosional, hal ini didasarkan pada suatu dorongan yang mendasar, seperti perkawinan, menjadi ayah, dan perhatian orang tua.
3)      Pengaruh perkembangan, halk ini membentuk karakter individu melalui pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun mental.
4)      Ukuran yang terbatas, keluarga di batasi oleh kondisi-kondisi biologis.
5)      Tanggung jawab para anggota,keluarga memiliki tuntutan yang lebih besar dan kontinu daripada asosiasi-asosiasi yang lainnya .
6)      Antara kemasyarakatan, masyarakat diatur oleh peraturan yang sah dan kaku dalam hal yang tahu.
7)      Sifat kekekalah dan kesementaraannya, keluarga marupakan suatu yang demikian permanen dan universal dan sebagai asosiasi merupakan organisasi terkelompok disekitar keluarga yang menuntut perhatian khusus.
3.       Fungsi keluarga
Menurut soalaeman (1994:84) fungsi-fungsi keluarga ada beberapa jenis. Kita memang dapat membedakannya yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi tidak dapat memisahkannya. Sulit pula untuk disebut jenis fungsi mana yang paling utama, karena masing masing fungsi keluarga itu sama pentingnya bagi keutuhan dan kelancaran kehidupan keluarga. Fungsi fungsi keluarga tersebut adalah :
a.       Fungsi Edukasi
Fungsi Edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan anak khususnya pendidikan serta pembinaan anggota keluarga pada umumnya. Fungsi edukasi ini tidak sekedar menyangkut pelaksanaannya, melainkan menyangkut pula penentuan dan pengukuhan landasar yang mendasari upaya pendidikan itu, pengarahan dan perumusan tujuan pendidikan, perencanaan dan pengelolaannya, penyediaan dana dan sarananya, pengayaan wawasannya dan lain sebagainya yang ada kaitan dengan upaya pendidikan itu.
        Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipukul orang tua. Sebagai salah satu momen dari tripusat pendidikan (istilah Ki Hajar Dewantara) Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak.
b.      Fungsi sosialisasi
Tugas keluarga dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik.
c.       Fungsi Proteksi atau Perlindungan
Baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosialisasi anak tidak saja melibatkan anak pada saat pelaksanaannya berlangsung, melainkan menjangkau pula masa depannya. Secara implicit kedua fungsi tersebut mengandung pengakuan akan adanya fungsi ketiga, yaitu fungsi proteksi atau perlindungan. Maksud memberikan perlindungan ialah agar anak merasa terlindungi dengan perkataan lain agar anak merasa aman. Apabila anak merasa aman, barulah ia dapat dengan bebas melakukan penjelajahan atau eksplorasi terhadap lingkungannya sebagaimana diharapkan fungsi sosialisasi anak.
d.      Fungsi Afeksi atau perasaan dalam keluarga terjadi hubungan sosial antara anak dan orang tua yang didasari dengan kemesraan. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, persahabatan, identifikasi dan persamaan mengenai nilai-nilai.
e.      Fungsi Religius
Keluarga mempunyai fungsi religius. Artinya keluarga dalam fungsi ini adalah berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama,dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia
f.        Fungsi Ekonomis
Keluarga Merupakan suatu kesatuan ekonomis. Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sang istri tak diperbolehkan turut berupaya mencari sumber penghasilan, namun dalam keadaan demikian tanggung jawab mencari nafkah keluarga tetaplah kepala keluarga.
g.       Fungsi Rekreasi
Keluarga memerlukan suasana akrab, ramah dan hangat diantara anggota-anggotanya, dimana hubungan antar anggota keluarga bersifat saling mempercayai, bebas tanpa beban dan di warnai suasana santai. Untuk mencapai itu semua, mereka akan lebih senang mencari hiburan diluar rumah. Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dsb.
h.      Fungsi Biologis
Fungsi biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis anggotanya. Salah satunya adalah kebutuhan akan perlindungan fisik guna kelangsungan hidupnya, perlindungan kesehatan, perlindungan dari rasa lapar, haus dan kedinginan, kepuasan bahkan kenyamanan dan kesegaran jasmani, termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan seksual dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan yang dapat dipenuhi dengan wajar dan layak sebagai suami istri dalam keluarga .

4.       Peran Keluarga Dalam Perkembangan Anak
    Dinamika kehidupan yang terus bekembang membawa konsekuensi- konsekuensi tertentu terhadap kehidupan keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan yang menerpa keluarga beserta dmapak krisis yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dan pandangan tentang fungsi dan peran keluarga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan mendasar tentang kehidupan keluarga, struktur, pola hubungan, dan gaya hidup keluarga banyak mengalami perubahan. Jika dulu biasanya ayah berperan sebagai pencari nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola utama kehidupan di rumah, maka sekarang banyak diantara keluarga (khususnya di kota-kota) yang tidak lagi seperti itu .
                Menurut Gunarsa (2004) dalam khairudin (2008:78) orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga , mengajar , mendidik , serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
                Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenal kepada anak, atau dapat dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal kehidupan sosial pertama-tama didalam lingkungan keluarga. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya menyebabkan seorang anak menyadari anak dirinya, bahwa ia berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial.
                Sebagai individu ia harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi kelangsungan hidupnya didunia ini. Sebagai makhluk sosial ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama yaitu saling tolong menolong dan mempelajari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang dikenalkan oleh orang tuannya, yang akhirnya dimiliki oleh anak anak tersebut. Sehingga dengan demikian perkembangan seorang anak didalam keluarga itu sangat ditentukan oleh kondisi situasi keluarga dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orangtuannya. Didalam kehidupan masyarakat akan kita jumpai bahwa perkembangan anak yang satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda. Peran keluarga terhadap perkembangan anak sangatlah besar. Oleh sebab itu, keluarga yang didalamnya terdapat orang tua, harus benar-benar bisa mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
                Parke (2004) dalam santrock (2007:164) Orang tua memiliki peran menjadi manajerial dalam kehidupan anaknya. Peran manajerial terutama penting dalam perkembangan sosioemosional anak . sebagai manajer, orang tua boleh mengatur kesempatan anak untuk melakukan kontak sosial dengan teman sebaya, teman dan orang dewasa. Orang tua memainkan peran penting dalam membantu perkembangan anak dengan memulai kontak antara anak dengan teman bermainnya yang potensial .
                Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga sangat penting artinya bagi perkembangan kepribadian anak karena orang tua merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak dan melalui orang tua lah anak mendapat kesan-kesan pertama tentang dunia luar. Orang tua merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak. Orang tua merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak. Orang tua akan bereaksi terhadap tingkah laku anak baik itu dengan menerima, menyetujui, membenarkan, menolak atau melarang. Melalaui pemberian nilai tersebut maka dalam diri anak akan terbentuk norma-norma tentang apa yang baik atau buruk dan apa yang boleh atau tidak boleh. Dengan demikian terbentuklah hati nurani anak yang mengarahkan tingkah laku selanjutnya dan kewajiban orang tua adalah mengembangkan hati nurani yang kuat dalam diri anak . untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dijelaskan peran orang tua dalam perkembangan anaknya, peran ayah dan ibu tersebut adalah .
1)      Peran Ayah
Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga ayah berperan sebagai kepala keluarga, ia memimpin kehidupan keluarga dan bertanggung jawab terhadap keseluruhan kehidupan keluarga itu. Pada kaitannya anak dan keluarga, ayah adalah sebagai pelingdung, salah satu cara yang dapat ia gunakan sebagai pelindung adalah dengan menciptakan komunikasi antar anggota keluarg. Ayah yang baik akan berperan sebagai pendengar yang baik bagi anggota keluarganya khususnya anak, ia akan mendengar setiap pendapat dan usulan yang diajukan oleh setiap anggota keluarganya, memberikan kebenaran dan penghargaan akan setiap pendapat yang diajukan tersebut dan jika pandangan anggota keluarga tersebut salah maka ia akan membimbing atau meluruskannya dengan bijak .
Dalam permulaan kehidupan anak, kehidupan ayah masih berada di belakang layar dan belum langsung dihayatinya sebab sehari-hari anak lebih berurusan dengan ibu dalam memenuhi kebutuhan vitalnya. Baru disaat-saat kemudian ayah akan tampil sebagai lambang wibawa bagi seluruh anggota keluarga dan berperan sebagai anutan dan arahan sehingga ia mendapat tempat dihati anak. Secara peran ayah dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak meliputi :
a)      Sumber kekuasaan dalam keluarga
b)      Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar
c)       Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
d)      Perlindung terhadap ancaman dari luar
e)      Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan
f)       Pendidikan dalam segi-segi rasional
2)      Peran ibu
     Peran ibu berkaitan dengan melahirkan anak dan mendidiknya serta mengarahkannya kehidupan dewasa, ibu disini berperan sebagai jembatan yang menghubungkan dunia anak dunia dewasa, menghubungkan anak dengan dunia lain dengan masyarakat. Sehingga ibu dapat berperan sebagai pengamat sifat dan perkembangan anak. Selain itu tugas asli dan utama seorang ibu adalah menjadi ibu rumah tangga. Tugas ibu rumah tanggu bukan hanya memasak dan mengatur rumah, tetapi lebih penting dari itu ialah mendidik anak-anak baik fisik maupun mentalnya.
        Pendidikan dirumah merupakan dasar, dan di atas dasar inilah pendidikan selanjutnya ditegakkan. Jika pendidikan dasar ini tidak kuat atau tidak benar maka pendidikan selanjutnya akan mempunyai dasar yang tidak kuat, bahkan dasar yang salah dengan demikian akan muncul anggota masyarakat yang pertumbuhan dan pendidikannya tidak tepat. Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa pendidikan dirumah di bawah asuhan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan masa depan bangsa dan Negara .
        Dalam tumbuh kembang anak ibu sangat berperan penting dalam perkembangannya. Seorang ibu harus mengetahui dan mengenali tanda-tanda pertumbuhan anak sesuai dengan fase-fase pertumbuhannya. Karena ibu merupakan tempat yang pertama dan utama pendidikan yang didapatkan oleh anak sebelum mereka mendapatkan pendidikan di sekolah.
        Banyak rangsangan atau pendidikan yang dapat ibu lakukan ialah melalui bagaimana ibu mengasuh anak atau melalui pola pengasuhan anak yang ibu lakukan. Banyak pola asuh yang dapat di terapkan mulai dari pola asuh yang cenderung otoriter hingga cenderung membiarkan yang kesemuannya itu berdampak pada kehidupan anak selanjutnya.
        Peran orang tua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka, diharapkan orang tua dapat memahami fase-fase perkembangan anak dan dapat mengimbanginya. Seorang anak perlu melakukan aksi-aksi terhadap lingkungannya agar dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Salah satu tugas orang tua pun adalah member pengalaman yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu berbagi peranlah dengan baik antara ayah dan ibu, agar kecerdasan dan perkembangan anak dapat berkembang dengan baik dan sempurna.
B.      Konsep Pola Asuh Anak
1.       Pengertian pola asuh anak
    Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1999:778) pola asuh berasal dari dua kata yaitu pola dan asuh. Pola artinya model, sedangkan asuh berarti membimbing, membantu dan melatih. Jadi pola asuh adalah menjaga ( merawat dan mendidik) anak atau membimbing, membantu atau melatih supaya yang dibimbing dapat berdiri sendiri.
                Baumrind dalam mualifah (2008:42) berpendapat bahwa “pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control, yaitu bagaimana orang tua mengontrol, membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses pendewasaan”.
                Soelaeman (1994:162) upaya orang tua dalam merealisasikan peran dan fungsi di keluarga akan menimbulkan berbagai cara orang tua dalam membimbing, mendidik dan merawat, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik. Cara orang tua dalam mengasuh anak ialah yang kemudian disebut dengan pola asuh orang tua.
                Sedangkan menurut khairudin (2008:35) adalah bila ditinjau secara teoritis dalam pengertian asuhan terkandung hubungan interaksi antara orang tua dengan anak dan hubungan tersebut adalah memberikan pengarahan dari satu pihak ke pihak lain, pengertian di atas pada dasarnya merupakan proses sosialisasi yang diberikan orang tua kepada anaknya.
                Pengertian diatas dijelaskan bahwa hubungan interkasi orang tua dengan anak secara umum tercakup oleh adanya perlakuan orang tua terhadap sikap, nilai-nilai minatnya mengasuh anak, hal ini memperlihatkan bahwa setiap orang tua memiliki individualitas dalam cara mengasuh anak mereka dan tentunya hal ini memberikan pengaruh yang berbeda-beda bagi perkembangan anak.
                Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola asuh orang tua yaitu suatu cara atau upaya perlakuan orang tua dalam membimbing, mendidik, merawat dan beriteraksi dengan anaknya, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik .
2.       Jenis Pola Asuh Anak
    Keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan pola asuh anak, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan perkembangan anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam perkembangan anak yang baik. Kegagalan keluarga dalam membentuk perkembangan anak yang baik akan berakibat buruknya masa depan anak. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa pola asuh sangat tergantung pada pendidikan pola asuh anak-anak mereka dalam keluarga .
                     Menurut Baumrind dalam Santrock (2007: 167), psikolog pada umumnya sejutu membagi pola asuh orang tua ini kedalam jenis pola asuh ini, yaitu :
a.       Authoritarian parenting adalah gaya yang membatasi dan menghukum dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otorier menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukan amarah pada anak. Anak yang dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.
b.      Authoritative parenting adalah gaya orang tua mendorong orang tua untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal member dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadsap anak.orang tua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku kontuktip anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa. Mandiri, dan sesuai dengan usia mereka. Anak yang memiliki orang tua yang otoratip sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan beroreantisi  pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik.
c.        permissive indifferent atau pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di antartanya mimiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.
d.      Permissive indulgent atau mengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya.
Masih menurut baumrind (Papalia, 2001:300) menyatakan bahwa model pola asuh yang biasa diterapkan kepada anak adalah :
a.       Authoritarian, dalam pola asuh ini orang tua mencoba untuk membuat anak-anaknya memenuhi standar dari perilakunya, kewenangannya untuk menghukum dan penuh ketegasan. Mereka lebih objektif dan kurang hangat dari orang tua lainnya.
b.      Permissive, dalam pola asuh ini orang tua serba membolehkan, mandiri, selfexpression dan selfregulation. Para orang tua lebih mempertimbangkan pada kemampuan sumbernya, bukan pada modelnya. Mereka pada umumnya membuat beberapa permintaan dan membolehkan anak-anak untuk dapat memonitor kegiatan orang tua sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan, mereka menjelaskan alas an mereka. Mereka juga membicarakannya dengan anak-anak mengenai keputusan dari kebijaksanaannya dan jarang menghukum. Mereka bersahabat tidak mengawasi dan tidak memaksa.
c.       Authoritative, dalam pola asuh ini orang tua menghargai kepribadian anak-anaknya tetapi juga menitik beratkan pada pemaksaan. Mereka percaya pada kemampuannya untuk menuntun anak-anaknya tetapi mereka juga menghargai keputusan yang mandiri dari anak-anaknya, mintanya, pilihannya dan kepribadiannya. Mereka penyayang dan penerima tetapi juga meminta anak-anaknya berperilaku baik dan mereka tetap mempertahankan standarnya dan mereka sudi untuk menentukan batasannya. Mereka juga menghukum dengan bijaksana, kadang-kadang juga suka menampar jika perlu tanpa kompromi, tetapi kemudian menjelaskan alasannya di balik perilaku dan desakan member dan menerima.
3.       Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
Pola asuh yang di terapkan orang tua di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: budaya, agama, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jumlah anggota keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, dan lain sebagainya. Sesuai dengan yang di ungkapkan Maccoby (1980:76) bahwa faktor yang mempengaruhi pola asuh yaitu:
a.       Status sosial ekonomi keluarga
Keluarga yang memiliki tingkat stress yang tinggi sehingga orang tua biasanya menitikberatkan pada kepatuhan. Mereka hanya menerapkan hukuman fisik tanpa memberikan pengertian kepada anak. Pola asuh yang diterapkan cenderung bersifat authoritarian. Sedangkan keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi cenderung bersifat authoritative. Orang tua cenderung menunjukan kehangatan dan kasih sayang yang lebih .
b.      Pekerjaan orang tua
Jenis pekerjaan tidak langsung mempengaruhi bentuk pola asuh orang tua. Jenis pekerjaan biasanya sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan. Hasil penelitian nuraeni (2006) menunjukan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan tinggi umumnya mengetahui bagaimana perkembangan anak dan pengasuhan yang baik dalam perkembangan tersebut. Sedangkan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, orang tua kurang memperhatikan perkembangan anak karena orang tua masih awam dan kurang mengetahui perkembangan anak.
Keluarga yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi biasanya menggunakan penalaran dan perundingan yang bergantung pada keterampilan yang dimiliki. Orang tua lebih sering berdiskusi dengan anaknya dari pada memberikan hukuman fisik.
c.       Ukuran keluarga
Keluarga besar yang terdiri dari banyak anggota keluarga cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan anaknya. Mereka lebih bersifat membebaskan anaknya dalam berperilaku. Namun tidak jarang pula mereka memberikan hukuman fisik tanpa alas an kepada anak.
d.      Pendidikan ibu
Peran ibu sangat penting dalam pengasuhan anak. Ibu yang dibekali pendidikan yang rendah cenderung memiliki ketegangan yang lebih tinggi. Ia kurang diberkali dengan ilmu pengetahuan dan kurang memiliki kesempatan untuk mendapat informasi-informasi penting mengenai kehidupan. Ini sangat berpengaruh terhadap harga dirinya, cara-cara ibu berkomunikasi dan berpikir, dan cara ibu dalam mengatasi masalah. Ibu biasanya membebaskan anak untuk memutuskan sesuatu.
4.       Dimensi-dimensi pola asuh
     Dimensi-dimensi pola asuh orang tua terhadap anaknya terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi control dan dimensi kehangatan (Baumrind dalam Santrock, 2007:259). Menurut Baumrind (Chodijah, 2009:31) kedua dimensi pola asuh orang tua tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Dimensi Kontrol (demandingness). Dimensi ini berhubungan dengan sejauhmana orang tua mengharapkan dan menuntut kematangan serta tingkah laku yang bertanggungjawab dari anak. Dalam kehidupan sehari-hari ada orang tua yang menuntut dan berharap banyak dari anak, selain itu ada pula yang bersifat permisif dan kurang menuntut. Pengertian control mencakup:
1)      Demandingness/tuntutan, dapat dikatakan bahwa tuntutan adalah tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan yang dimaksud orangtua dapat bermacam-macam antara lain ada orang tua yang mengharapkan anaknya membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, menuntut anak untuk cepat beradaptasi dimanapun ia berada.
2)      Restrictiveness/pembatasan-pembatasan, keadaan ini ditandai dengan banyaknya larangan yang dikenakan kepada anak. Orangtua cenderung melakukan pembatasan/kekangan terhadap aktivitas anak tanpa disertai penjelasan yang memadai  mengapa hal tersebut tidak boleh dan bagaimana sebaiknya itu dilakukan.
3)      Instrusivness/campur tangan, instrusivness disini memperlihatkan suatu keadaan dimana orang tua melakukan intervensi terhadap anak dalam semua aktivitas anak. Campur tangan tersebut menyebabkan anak kurang dapat mengembangkan self of control, yaitu kesadaran bahwa dirinya mempunyai control sehingga dapat mempengaruhi apa yang terjadi pada dirinya dan sekelilingnya. Dengan demikian anak memperlihatkan sikap tidak berdaya berupa sikap pasif, kurang inisiatif, kehilangan motivasi. Sebaliknya anak yang memiliki sense of control yang bagus akan merasa bahwa ia dapat mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuan sehingga ia akan lebih aktif, mandiri dan memiliki inisiatif.
4)      Strictneass/keketatan, dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan tegas, dengan tujuan agar anak mematuhi dan memenuhi semua aturan dan tuntutan yang diberikan orang tua. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sikap ketat yang dilakukan secara konsisten mempunyai korelasi positif dengan kemampuan mengendalikan impuls agresif, memiliki control diri yang kuat, implusif. Medinus dalam Chodijah (2009:32) menekankan bahwa “displin yang ditekankan secara keras tidak konsisten dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentiment, kekerasan dan kecemasan pada anak”.
5)      Arbitrary exercise of power/penggunaan kekuasaan sewenang-wenang orangtua yang menggunakan kekuasaan sewenang-wenang memiliki control yang tinggi dalam mengakkan aturan-aturan dan pembatasa-pembatasan. Orang tua mungkin akan menggunakan hukuman bila perilaku anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum anak, orang tua tidak memberikan penjelasan-penjelasan.
b.      Dimensi Kehangatan (responsiveness). Dimensi ini berhubungan dengan tingkat respon orang tua terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dalam penerimaan dan dukungan. Ada yang hangat menerima, ada pula yang tidak responsive dan menolak (steinberg dalam triani, 2003). Orang tua yang responsive adalah orang tua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapa diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan. Orangtua yang menerima anak, memiliki perhatian besar terhadap anak serta memberikan kasih sayang. Orang tua juga memberikan fasilitas-fasilitas untuk mengembangkan kemampuan serta minat anak. Ciri lain yang menunjukan adanya kehangatan yaitu :
1)      Bersedia meluangkan waktu agar bisa bekerjasama dalam suatu kegiatan
2)      Cepat tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan anak
3)      Orang tua yang memperhatikan kesejahteraan anak
4)      Peka terhadap keadaan emosi anak
5)      Siap untuk menanggapi kecakapan/keberhasilan anak serta menunjukan cinta kasihnya.
Tentang kehangatan, Maccoby dalam Chodijah (2009:33), mengatakan lebih lanjut bahwa kehangatan merupakan aspek penting dalam pengasuhan anak, karena dapat menciptakan suasana yang menyenangkan akan dalam kehidupan keluarga. Kehangatan yang diberikan keluarga pada anaknya akan menghasilkan anak yang mudah untuk di didik.
      Dimensi-dimensi pola asuh tersebut dapat didukung dengan bagaimana upaya pola asuh yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak. Menurut Abdullah Nashish Ulwan (1981:174) mengemukakan cara mendidik yang influentif terhadap anak, yaitu :
a.       Pendidikan dengan keteladanan, merupakan cara yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak didalam moral spiritual dan sosial dimana cara ini menitik beratkan kepada pendidikan agar anak akan meniru segala tindak tanduk orang tua untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari .
b.      Pembiasaan, merupakan cara yang diterapkan dengan adanya suatu pengajaran dan pembiasaan sehingga anak berada dalam pembentukan edukatif dan sampai pada hasil-hasil yang memuaskan, karena semuanya bersandar pada cara memperhatikan dan mengawasi berdasarkan bujukan dan ancaman yang bertitik tolak dari bimbingan dan pengajaran.
c.       Pemberian nasehat, dimana dalam penerapannya orang tua dapat memperjelas dibantu dengan penggunaan, perumapamaan, gambaran dan contoh disamping segala apa yang bisa disaksikan oleh khalayak dengan mata kepalanya sendiri yaitu dengan peristiwa-peristiwa yang berada dalam jangkauan mereka sehingga lebih berbekas, mudah dipahami, lebih melekat di akat.
d.      Pengahargaan dan hukuman, merupakan cara mencurahkan perhatian dan pemberian hukuman kepada anak ketika berbuat salah dan senantiasa mengikuti pekembangan anak. Dengan adanya pemberian penghargaan dan pemberian hukuman sebagai bagian dari upaya pelaksanaan pendidikan di keluarga.
C.      Konsep Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini
Perkembangan merupakan istilah umum yang mencakup pada kemajuan dan kemunduran yang terjadi hingga akhir hayat. Pertumbuhan merupakan aspek structural dari perkembangan. Sedangkan kematangan berkaitan dengan perubahan fungsi pada perkembangan. Perkembangan meliputi aspek dari perilaku manusi, dan sebagai hasil hanya dapat dipisahkan kedalam periode usia. Dukungan perumbuhan terhadap perkembangan sepanjang hayat merupakan sesuatu yang berarti, oleh karena itu perkembangan sosial emosional perlu dikembangkan sejak dini.
1.       Perkembangan sosial
Sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang dilakukan meliputi lingkup yang luas seperti dengan teman, orang dewasa, komunitas masyarakat dan sebagainya. Interaksi sosial membutuhkan upaya penyesuaian diri individu dengan lingkungan atau masyarakat yang digaulinya, individu yang tertolak atau terisolasi biasanya disebabkan adanya ketidaksesuaian norma atau perilaku yang ditampakan oleh individu tersebut.
    Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-122), perkembangan sosial emosional merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.
                                                Selanjutnya menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-125), perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh lungkungan sosialnya, baik orang tua, anak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan keperluan terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua kasar sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teledan, pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat minder, (2) senang mendominasi orang lain, (3) bersifat egois, (4) senang mengisolasi diri, (5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan (6) kurang memperdulikan norma dalam perilaku.
                Sebagai seorang anak akan mengekplorasi dan membangun hubungan pertemanan dengan teman sebayanya, hal tersebut akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mengembangkan interaksi dan pengertian tentang orang lain. Piaget (1932) dalam bahan ajar diklat tenaga pendidikan PAUD Nonformal Tingkat Dasar menemukan bahwa interaksi teman sebaya sebagai satu sumber kognitif utama juga sebagai perkembangan sosial, terutama sekali untuk perkembangan bermain peran dan empati. Dalam konteks sekolah, tetangga, dan rumah, anak-anak belajar untuk membedakan antar tipe-tipe perhubungan teman sebaya yang berbeda, teman-teman baik, teman-teman sosial, pasangan-pasangan beraktivitas, kenalan, dan orang-orang asing. Melalui pembangunan dan mempertahankan perhubungan teman sebaya dan pengalaman-pengalaman sosial yang berbeda-beda tipenya, khususnya konflik teman sebaya, anak-anak memperoleh pengetahuan tentang dirinya dan orang lain. Interaksi teman sebaya yang berbeda umur juga memberikan sumbangan untuk perkembangan sosial kognitif dan bahasa anak-anak yang lebih muda sambil meningkatkan kemampuan-kemampuan berinstruksi bagi anak-anak yang lebih tua (Hartup,1983, dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal Tingkat Dasar ).
2.       Perkembangan Emosional
Emosi Menggambarkan Tentang bagaimana perasaan individu tentang dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Perasaan yang muncul biasanya disertai dengan perubahan fisik seperti tubuh yang menegang, gemetar, menggigil, aliran darah yang cepat, begitu juga dengan raut muka yang juga turut mengalami perubahan.
        Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-115), emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaann tertentu yang dialami pada saat menghadapi suatu situasi tertentu, seperti gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), dan perasaan yang lainnya.
        Perkembangan emosi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial walaupun masing-masing ada kekhususannya. Yang berkaitan dengan emosi adalah perhatian, pujian, kasih sayang dan lain-lain. Sedangkan aspek sosial adalah interaksi yang lancar antara guru dan anak. Sudono, anggani, MA (1999-54)
3.       Tujuan Perkembangan Sosial Emosional
Menurut Anggani Sudono, MA (1999-55), Faktor sosial dan emosi merupakan kepribadian dan pembiasaan yang dapat membentuk:
a.       Kemandirian, yaitu mengurus diri sendiri, seperti: mandi, berpakaian,menyikat gigi, mengurus barang-barang milik sendiril;
b.      Kebiasaan menghargai orang lain, milik orang lain dan pendapat orang lain;
c.       Rasa tanggungjawab, yaitu mampu menyelesaikan tugas yang harus diselesaikanl
d.      Kemampuan bekerjasama;
e.      Kemampuan mengungkapkan diri.

4.       Ciri-ciri perkembangan Sosial Emosional
Perkembangan anak dari hari ke hari sangat menakjubkan. Dari bayi lemah yang menggantungkan seluruh hidupnya kepada orang tua, menjadi anak kecil yang pintar berbicara, senang bergelut dan pandai menghitung matematika. Tetapi itu semua tidak terlepas dari pembelajaran orang orang yang ada di sekitarnya, seperti orang tua yang sangat berperan dalam membantu perkembangan sosial emosional anak. Sejak dini, anak perlu diberikan arahan dan bimbingan oleh orang dewasa, salah satunya belajar melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sosial-emosional anak. Karena dengan kegiatan itu anak lebih mandiri dan percaya diri .
        Berdasarkan peraturan menteri pendidikan Nasional No 58 tahun 2009 tentang standar pendidikan anak usia dini, disebutkan ciri-ciri perkembangan sosial-emosional anak usia 4-5 tahun sebagai berikut :
a.       Menunjukan sikap mandiri dalam memilih kegiatan
b.      Mau berbagi, menolong dan membantu teman
c.       Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif
d.      Mengendalikan perasaan
e.      Menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan.
f.        Menunjukan rasa percaya diri
g.       Menjaga diri sendiri dari lingkungannya
h.      Menghargai orang lain

5.       Faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak usia dini
Menurut Aan Listiana(2009) dalam dalam bahan Ajar Diklat Tenaga pendidikan PAUD Nonformal tingkat dasar memahami anak usia dini, seperti halnya perkembangan belajar dan berkomunikasi, perkembangan sosial emosional sangat banyak dipengaruhi beberapa factor, yaitu :
a.       Kondisi orang tua merupakan factor yang dominan dalam mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak. Beberapa studi menunjukan adanya pengaruh yang signifikan antara perasaan (mood) orang tua terhadap perkembangan perilaku anak. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan bahwa orang tua yang depresi merupakan indikasi dan dapat menjadi salah satu prediksi penting terhadap rendahnya kemampuan sosial dan afeksi anak. Mengingat faktor kondisi orang tua yang dapat menjadi penyebab rendahnya kemampuan sosial emosional anak maka tutor atau orang tua kemungkinan sudah dapat memprediksikan dan mengukur tingkat kemampuan sosial emosional anak melalui perilaku atau kondisi sosial emosional orang tuanya. Kondisi demikian mengakibatkan penanganan terhadap perilaku menantang yang di tampilkan anak tidak hanya bagaimana membantu orang tua bersikap dan berperilaku. Beberapa faktor orang tua yang dapat menyebabkan gangguan sosial emosional pada anak adalah orang tua yang depresi, pengabian, dan IQ yang rendah.

1)      Orang tua yang depresi biasanya menampilkan perilaku-perilaku yang bermasalah, seperti mudah marah, panik, cemas yang berlebihan, murung, dan perasaan sedih yang mendalam. Kondisi tersebut akan mempengaruhi pada hubungan sosial emosional anak. Anak yang memiliki sifat meniru dan belajar dari kondisi lingkungan sekitarnya akan mengadopsi perilaku-perilaku tersebut. Perilaku-perilaku negatif yang di tampilkan anak akan mendapat respon yang negatif yang akan berakibat pada penolakan dan isolasi dari lingkungan sekitarnya. Pada kebanyakan anak-anak pengalaman seperti respon orang tua, stabilitas situasi pengasuhan akan berpengaruh terhadap pengalaman emosional anak. Lingkungan di sekitar anak yang penuh dengan kehangatan dan situmulasi yang positif akan dapat mengembangkan kompetensi emosional dan kognitif anak. Sebaliknya anak yang proses perkembangan emosionalnya tidak lancar akan beresiko pada kekurangan kognitif, sosial dan perilakunya.
2)      Sikap pengabaian orang tua terhadap anak biasanya adalah anak-anak yang tidak dikehendaki juga dapat menyebabkan rendahnya kemampuan sosial dan afeksi anak. Hal tersebut terjadi dikarenakan anak terbiasa mendapatkan reaksi negatif, tidak dihiraukan keberadaannya, dan tidak terpenuhinya kasih sayang dari orang tuanya. Akibatnya anak kurang memperoleh pengetahuan tentang bagaimana menampilkan sikap positif yang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.
3)      Faktor lainnya adalah IQ orang tua yang rendah dapat juga mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak.
Selain faktor kondisi orang tua, faktor lingkungan keluarga dan masyarakat juga merupakan faktor yang banyak mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak.
b.      Faktor lingkungan keluarga diantaranya adalah intimidasi atau kekerasan, ketidak berfungisnya keluarga, dan anggota keluarga yang beasar.
c.       Faktor lingkungan masyarakat diantaranya adalah isolasi sosial emosional anak. Masalah yang bersumber dari luar berupa kurangnya pengertian atau dukungan yang diberikan pada anak dan juga sikap permusuhan dari lingkungan keluarga dan masyarakat dapat pula menyebabkan masalah yang signifikan pada perkembangan sosial emosional anak.
d.      Faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Faktor prenatal seperti berat lahir yang rendah, premature, viral infection, penyakit yang kompleks selama dalam kandungan, serta hernia merupakan factor-factor dari diri anak yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial emosionalnya.
Pengertian Sosial Emosional
Yusuf (2007:122) menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerjasama.
Fanken (1993) dalam Baihaqi dkk (2005:105) menjelaskan bahwa emosi merupakan hasil informasi antara faktor subjektif (proses kognitif), faktor lingkungan (hasil belajar) dan faktor biologi (proses hormonal).
Departement of Health, Education and Welfare USA (1969) dalam Schloss (1984:3) dalam Deplhie (2005:33) menyebutkan faktor sosioemosional yang menyebabkan anak sulit menyesuaikan diri meliputi: perasaan takut, perasaan ketidakpuasan disebabkan orang lain, agresi, dan sikap negatif terhadap suatu kemenangan.
Giblin(1981) keseimbangan pada teori perkembangan emosional Giblin berdasarkan pada perbedaan antara perasaan dan emosi. Giblin percaya bahwa ada lima tahapan dalam perkembangan emosi:
1)      Dari 0 sampai 8 bulan ada ketidakseimbangan dari sensorik respons atau sensasi yang intens ; penyesuaian refleksif mengikuti, ekspresi mewakili kesenangan /ketidaksenangan dan istirahat / ketegangan.
Sosioemosional adalah perubahan yang terjadi pada diri setiap individu dalam warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu.Dalam pembahasan sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam sosio-emosional pada remaja.
2)      Dari 9 sampai 12 bulan ada juga mengembangkan ketidakseimbangan yang dibawa oleh ada atau tidak adanya orang lain. Kesetimbangan dicapai oleh interaksi, dan di respon oleh tanggapan yang lebih terorganisir.
3)      Dari 2 sampai 6 tahun, ketidakseimbangan disebabkan secara langsung dan tidak langsung oleh rangsangan dan kesetimbangan kembali melalui keterampilan representasional dan keterampilan emosional
 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian pengumpulan data. Urutan atau cara penelitian yang dilakukan oleh penulis antara lain adalah sebagai berikut:

1.     Observasi
Observasi dilakukan menggunakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Penulis meneliti dengan cara mendatangi langsung lokasi yaitu Desa Pagerwangi
2.     Interview
Interview dilakukan dengan cara mendatangi dan wawancara dengan pihak yang bersangkutan, agar memperoleh data yang diperlukan untuk masalah yang akan dibahas. Interview juga dilakukan dengan mendatangi secara langsung beberapa keluarga yang terkait.
3.     Wawancara
Wawancara dilakukan dengan cara berinteraksi secara langsung dengan keluarga yang bersangkutan dan pihak yang terkait.
Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang di Rw 04 dengan jumlah kepala keluarga 137. Hampir 70 % kepala keluarga adalah pekerja baik sebagai buruh, wirausaha dan pembantu rumah tangga.

HASIL

a.       Gambaran Umum Keluarga
Bapak Alo memiliki latar belakang pendidikan SMU sedangkan istrinya, ibu Ida memiliki latar belakang pendidikan lulusan SMU, yang dikarenakan kondisi keluarga mereka kurang mampu untuk melanjutkan sekolah ketingkat selanjutnya. Bapak dan ibu X sudah menjalin kehidupan keluarganya selama 26 tahun serta dikaruniai anak 1 orang anak laki-laki bernama Yogi yang berusia 23 tahun.
        Hubungan yang ada didalam keluarga X memiliki kondisi yang rukun dan mereka tinggal bertiga yang terdiri dari bapak-ibu-anak. Tetapi karena rumah orangtua ibu X ada disamping mereka, sehingga mereka lebih sering berkumpul bersama di rumah orangtua dari ibu X.
        Latar belakang keluarga orangtua X adalah keluarga petani, sehingga mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang lainnya. Orangtua X memiliki lahan pertanian sendiri yang terdiri dari kebun tomat, cabai, kembang kol dan labu siam. Setiap harinya orangtua X bekerja dari pagi hari sampai dengan sore hari, terkadang bapak X pula malam dikarenakan harus kembali menjaga kebun miliknya, jika kebunnya tidak dijaga maka akan ada yang mencuri hasil kebun bapak X.
        Setiap harinya bapak dan ibu X berangkat kerja dari pagi pukul 06.30 sampai dengan sore hari pukul 16.30, tetapi terkadang bapak dan ibu pulang kerumah ketika waktu dzuhur untuk beristirahat, kemudian berangkat kembali ke kebun untuk melanjutkan pekerjaannya. Walaupun demikian, pada saat mereka pulang untuk istirahat, mereka menyempatkan diri untuk bertemu sebentar dengan anak-anaknya.
        Sebagian besar waktu keluarga X digunakan untuk bekerja, sehingga menyebabkan kurangnya interaksi orangtua X dengan anak X. tetapi mereka tidak lupa untuk tetap berkomunikasi dengan anak walaupun hanya sebentar, karena dengan demikian mereka dapat mempertahankan kondisi keluarga mereka dengan utuh. Bapak X yang hanya dapat bertemu dengan anaknya disaat istirahat siang, dan ibu X yang hanya dapat bertemu dengan anaknya sebelum berangkat bekerja, tidak menjadikan hubungan orangtua dan anak menjadi renggang, karena orangtua X masih peduli terhadap anaknya.
        Walaupun pekerjaan itu penting untuk kehidupan mereka, tetapi tetap memprioritaskan keluarga dan anak, karena keluarga adalah harta yang paling berharga dibandingkan dengan pekerjaan yang mereka miliki. Kebiasaan bersama yang sering dilakukan oleh keluarga X untuk mempererat hubungan keluarga/kominikasi didalam keluarga adalah ketika makan dan nonton tv bersama di ruang keluarga, jika orangtua keluarga X sedang tidak ada aktivitas.
b.      Pemahaman orangtua mengenai pola asuh anak untuk mengembangkan sosial emosional anak.
Setelah melakukan wawancara dan observasi langsung terhadap keluarga X dalam mengungkapkan bagaimana pengetahuan orangtua mengenai pola asuh anak untuk mengembangkan perkembangan sosial emosional anak. Keluarga X menjelaskan bahwa mereka belum terlalu mengerti tentang apa itu pola asuh dan perkembangan sosial emosional anak. Mereka hanya mengetahui bahwa pola asuh itu adalah cara mengasuh anak agar menjadi anak yang baik. Tetapi mereka tidak tahu pengertian dari pola asuh, jenis-jenis pola asuh maupun dimensi dari pola asuh. Padahal kesemuannya itu selalu dilakukan oleh mereka setiap hari. Mereka juga tidak pernah membaca buku ataupun penyuluhan tentang pola asuh dan perkembangan anak. Walaupun di dekat rumahnya terdapat posyandu, tetapi tidak pernah ada kegiatan penyuluhan tentang pola asuh dan perkembangan anak dari desa, dan memang karena tidak adanya waktu untuk mengikutinya, hal itu dikarenakan waktunya digunakan untuk bekerja.
         Begitupun dengan pengetahuan tentang perkembangan sosial emosional anak, mereka hanya mengetahui bahwa perkembangan itu adalah perkembangan tentang emosi yang dimiliki oleh anak saja. Mereka tidak mengetahui bagaimana tahapan perkembangan sosial emosional anak yang seharusnya. Yang terpenting adalah selama anak mereka masih berkelakuan baik dan tidak melakukan hal yang buruk, maka mereka masih bisa hidup dengan baik.
        karena  mereka tidak mengetahui bagaimana perkembangan sosial emosional anak, merekapun tidak mengetahui bagaimana  cara untuk mengembangkan sosial emosional yang dimiliki oleh anak mereka. Mereka hanya beranggapan, bahwa dengan mereka percaya kepada anak mereka yang akan selalu berbuat baik, mereka sudah dapat mengetahui bahwa anak mereka dalam kondisi yang baik. Jika ada kasus atau kejadian tentang perkembangan sosial emosional anak yang tidak sesuai dengan tahapannya, mereka hanya bisa menasehatinya dan menanyakan kenapa hal itu bisa terjadi,  dengan begitu mereka menganggap sudah membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya 

c.        pola asuh yang diterapkan oleh orangtua 
   setelah melakukan wawancara langsung dengan keluarga X pola asuh yang diterapkan oleh keluarga X kepada anaknya, menjelaskan bahwa mereka tidak mengetahui jenis pola asuh apa yang mereka terapkan kepada anak-anak mereka. Mereka memberikan kasih sayangnya dengan memenuhi keinginan anak, karena hal itulah yang bisa mereka berikan ketika mereka tidak bersama anaknya. Bapak dan ibu menjelaskan, bahwa secara tidak langsung mereka menggunakan cara orang tua mereka mendidik/pola asuh mereka ketika masih kecil kepada anak mereka. Karena didikan ortangtua tersebut sudah melekat pada diri mereka, maka merekapun secara tidak sabar telah menerapkannya kepada anak-anak mereka. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga adalah semua nilai kehidupan, khusunya adalah nilai agama dan nilai sosial. Tujuan dari diterapkannya nilai-nilai tersebut adalah agar anak dapat menjalani kehidupanya dan bisa membedakan mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak baik dilakukan. Karena nilai tersebut adalah nilai yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam pemberian nilai tersebut, bapak dan ibu memberikan contoh dengan perilaku mereka kepada anak, karena dengan begitu anak akan mengikuti apa yang mereka lakukan.
    Pada kesehariannya, jika anak melakukan sesuatu hal yang baik, maka bapak dan ibu X selalu  memuji mereka dengan pujian dan doa yang baik untuk mereka. Contohnya jika anak mendapatkan prestasi yang baik didalalam sekolah ataupun diluar sekolah, bapak dan ibu selalu memujinya dan mendoakan semoga dia bisa menjadi anak yang pintar dan sholeh. Tetapi jika anak berbuat suatu kesalahan, bapak dan ibu X suka memarahi mereka dan langsung menasehati mereka bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan, atau dengan memberikan hukuman uang jajan mereka akan dikurangi ataupun tidak boleh bermain lagi selama dia menyadari bahwa dia berbuat salah.
        Pekerjaan bapak dan ibu X memakan waktu yang sangat lama, sehingga intensitas mereka bertemu dan berkomunikasi dengan anak sangatlah kurang,mereka hanya bisa bertemu pada saat sebelum berangkat kerja dan ketika anak sudah lelah bermain diluar rumah. Jika dihitung, mereka hanya bisa bertemu dengan anaknya hanya +3 jam saja. Walaupun begitu, rasa kangen anak kepada orangtuanya tidak berkurang. Ketika mereka kumpul di rumah, anak selalu bermanja-manja dengan mereka, bercerita tentang kejadian yang telah dia lewati seharian itu dan juga meminta sesuatu yang dia inginkan. Bapak dan ibu X hanya bisa menanggapinya dengan mendengarkan dan mengiyakannya.
        Bapak dan ibu X tidak pernah melakukan pembatasan-pembatasan aktivitas anak namun hal ini disertai penjelasan mengapa hal itu harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Karena bagi mereka masa anak-anak adalah masa bermain. Tetapi anak tetap diberikan beberapa batasan yang tidak boleh dilakukanya, jika anak melewati batasan tersebut, maka anak akan mendapatkan akibat dari perbuatanya dan mengerti dan faham bahwa dia tidak boleh lagi melewati batasan tersebut. Tetapi walaupun begitu terkadang anak melakukan hal tersebut untuk mencari perhatian dari orangtuanya.
        Bapak dan ibu X sangat memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya, mereka rela bekerja dari pagi sampai dengan sore hari hanya untuk mensejahterakan dan membahagiakan keluarganya, walaupun begitu, mereka merasakan akibat dari pekerjaan mereka yang menyebabkan mereka kurang bisa merespon kebutuhan anak-anaknya. Jadi apa yang anak mereka inginkan akan langsung mereka penuhi, walaupun keinginan anak tidaklah terlalu penting.
        Ketika bapak dan ibu X bekerja, mereka mempercayai anaknya (Yogi) kepada bibiknya yang bernama Dini. Dini yang hanya bersekolah sampai dengan kelas 3 SMP dikarenakan masalah ekonomi keluarga, lebih memilih membantu orangtuannya dalam hal membersihkan rumah, memasak dan menjaga keponakannya. Dini adalah bibik dari Yogi yang paling dekat dengannya, karena Yogi selalu ditemani Dini jika bapak dan ibunya sedang pergi bekerja. Oleh karena itu, yang lebih banyak berinteraksi dengan Yogi adalah bibiknya sendiri. Bapak dan ibu percaya pada Dini bahwa dia bisa membimbing dan menjaga keponakannya ketika sedang didalam ataupun diluar rumah.
        Sebagai seorang bibik, Dini selalu menjaga dan mengarahkan keponakannya dalam segala hal, mencontohkan semua hal baik dan melarang hal yang menurutnya tidak baik. Dini selalu menasehati Yogi jika Yogi berbuat hal yang tidak baik. Ketika Yogi sedang bermainpun Dini selalu ada di dekatnya. Dini melakukannya dengan senang hati.
        Setelah bapak dan ibu X berangkat kerja, Dinilah yang bertanggungjawab dalam hal mengasuh keponakannya (Yogi) Dari pagi hari sampai dengan sore hari Dini menemani dan mengontrol keponakannya itu dengan baik, jika sebentar saja keponakanya tidak terlihat, dini langsung mencarinya sampai ketemu, Dini tidak pernah meninggalkan keponakannya kecuali jika orangtuannya pulang bekerja. Walaupun Dini selalu ada untuk keponakannya, tetapi hal tersebut tidak mengganggu kegiatan Dini bermain dengan teman-temannya, terkadang Dini selalu mengajak Yogi untuk ikut serta bermain bersamanya.
        Setelah bapak dan ibu X pulang kerumah, Dini lalu menceritakan apa saja yang telah dialaminya dengan keponakan kesayanganya tesebut. Hal itu dilakukannya untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi seorang bibik sekaligus pengasuh yang menyayangi keponakannya.
d.      Perkembangan sosial emosional anak usia 4-5 tahun.
   Berdasarkan hasil wawancara dan observasi keluarga X mengenai perkembangan sosial emosional anak, keluarga X menjelaskan bahwa dalam proses perkembangan sosial emosional yang dimiliki oleh anak mereka bisa dilihat dari kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anak mereka.
                Pada usianya, Yogi belum bisa menjadi anak yang mandiri. Setiap harinya dia masih harus dibangunkan oleh ibunya, begitupun ketika dia ingin tidur, dia masih harus ditemani/dikeloni oleh ibunya dan mandipun harus ditemani oleh ibunya, jika ibunya tidak menemaninya Yogi pun tidak akan bisa bangun/tidur/mandi. Tetapi dalam hal makan, Yogi tidak perlu dibantu oleh ibunya. Dia sudah bisa makan dengan menggunakan sendok sendiri, tetapi memang dalam kerapihan Yogi masih belum bisa makan yang tertib, karena ketika dia makan nasi ataupun lauk yang dia makan bisa berantakan kemana-kemana. Padahal dengan bapak dan ibunya bekerja, mereka berharap bahwa anak mereka dapat hidup mandiri. Tetapi hal itu tidak tercapai, justru dengan lamanya bekerja, anak akan semakin mencari perhatian kedua orangtuanya sehingga mereka ingin selalu dibantu oleh orangtuannya, khususnya oleh ibunya.
                Pada saat semua anggota keluarga kumpul, Yogi selalu dimanjakan oleh keluarganya. Karena Yogi anak tunggal dari kedua orangtuannya, sehingga apapun yang Yogi inginkan selalu dituruti oleh keluargnya. Sama halnya dengan di rumah, di sekolah ataupun diluar rumah Yogi belum dapat hidup mandiri. Seperti berangkat sekolah selalu saja harus ditemani oleh ibunya, jika bermainpun harus ditemani oleh bibiknya. Karena orangtua yang selalu menurutinya, sehingga anak jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi,egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya. Sehingga  Yogi belum bisa menjalin hubungan baik dengan teman sebayanya. Walaupun begitu Yogi adalah anak yang sangat terbuka kepada keluarganya. Dengan sikapnya yang terbuka itu membuat semua orang yang ada di sekitarnya menjadi dekat dengannya. Tidak segan-segan dia bercerita kepada teman-temannya atau keluarganya tentang pengalaman yang telah dialami dan sedang dia alami.

PEMBAHASAN


IDENTIFIKASI PENCAPAIAN KEMAMPUAN SOSIAL EMOSIONAL
ANAK USIA 4-5 TAHUN

NO
Tahap
Perkembangan
Keluarga X
Keluarga Y
Keluarga Z
1
Menunjukan sikap mandiri dalam memilih kegiatan
Anak X belum bisa melakukan kegiatannya sendiri, dia masih perlu dibantu oleh kedua orangtuannya. Tetapi jika sedang bermain, dia bisa memilih permainan apa yang dia ingin lakukan bersama teman-temannya
Anak Y sudah bisa melakukan kegiatan hariannya tanpa dibantu oleh kedua orangtuannya. Begitupun dalam hal bermain, dia sudah dapat memilih teman dan memilih permainan apa saja yang ingin dia lakukan bersama dengan teman-temannya
Anak Z belum bisa menunjukan sikap mandiri hal, baik dalam kegiatannya didalam rumah, maupun kegiatannya diluar rumah.
2
Mau berbagi menolong dan membantu teman
Pada hal berbagi, menolong dan membantu teman, anak X sudah bisa melakukannya walaupun terkadang dia masih memiliki sifat egois terhadap barang yang baru dimilikinya. Tetapi dalam hal menolong teman, dia sudah bisa melakukannya dengan baik, seperti membantu menegahi pertengkaran ketika bermain.
Anak Y sudah bisa berbagi, menolong dan membantu anggota keluarganya. Begitupun pada saat dia sedang bersama dengan teman-temannya, dia suka berbagi makanan ataupun barang yang dia miliki kepada temannya, seperti meminjamkan pensil ataupun penghapus kepada teman sebangkunya.
Karena anak Z adalah anak yang sangat pemalu terkadang dia masih perlu dibantu untuk memiliki sikap berbagi menolong dan juga membantu teman-temannya walaupun sebenarnya didalam dirinya sudah ada keinginan untuk bisa melakukan semua hal itu tetapi dia masih perlu mendapatkan arahan dari kedua orangtuanya.
3
Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif
Antusiasme anak X dalam bermain sudah sangat terlihat dari sikapnya yang selalu bersemangat dalam melakukan semua permainan di sekolah maupun di lingkungan rumahnya
Pada saat bermain, antusiasme dalam permainan kompettif anak Y sudah bisa terlihat dengan baik. Dia sealu berusaha untuk menjadi juara dalam semua permainan, memang walaupun dia selalu kalah oleh teman laki-lakinya
Sikap antusiasme anak Z masih belum terlihat, karena sikap pemalu dan pendiamnya yang membuatnya tidak bersemangat untuk ikut berkompetisi dalam permainan. Tetapi jika dalam permainan biasa, dai sangat senang untuk mengikutinya.
4
Mengendalikan perasaan
Anak X belum bisa mengendalikan perasaannya dengan benar, dia masih memiliki sifat yang emosional jika keinginan dia tidak dapat di penuhi oleh kedua orangtuannya, sehingga dia perlu dibantu dan diarahkan dalam mengendalikannya
Dalam mengendalikan perasaan, anak Y belum bisa melakukannya dengan baik. Dia suka menyimpan perasaannya jika dia sedang sedih. Sehingga menjadikan dia lebih banyak diam
Anak Z belum bisa mengendalikan perasaannya dengan baik, dia masih memiliki sifat murung dan memendam perasaannya yang menyebabkan dia menjadi anak yang mudah tersinggung.
5
Menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan
Pada saat bermain, anak X sebenarnya sudah bisa menaati peraturan permainan yang berlaku. Tetapi terkadang dia suka melanggar
Menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan sudah dapat dilakukan dengan baik oleh anak Y. dia tidak pernah melanggar peraturan tersebut, dan selalu mengikuti permainan tersebut dengan senang hati
Dalam menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan anak Z sudah bisa melakukannya, walaupun terkadang dia merasa malas untuk mengikuti peraturan tersebut sehingga dia tidak mengikuti permainan tersebut
6
Menunjukan rasa percaya diri
Pada saat bermain, anak X sudah bisa menunjukan rasa percaya dirinya dihadapan teman-temannya, begitupun dihadapan orang yang belum dia kenal. Sehingga dia dapat dengan mudah bergaul dengan orang yang baru dia kenal.
Anak Y sudah memiliki rasa percaya diri baik dalam bermain ataupun dalam melakukan semua aktivitasnya, tetapi jika dia bertemu dengan orang yang belum dia kenal, dia akan menjadi anak yang pemalu.
Anak Z belum memiliki rasa percaya diri yang bagus, dia masih menunjukan sikap pemalunya dalam bermain maupun dalam hal yang lainnya. Sehingga dia masih perlu dibantu untuk mengembangkan rasa percaya dirinya.
7
Menjaga diri sendiri dari lingkungannya
Anak X adalah anak yang pemberani dalam kesehariannya, dia dapat menjaga diri dari lingkungannya. Jika ada binatang yang menggannggunya, dia bisa mengusirnya tanpa dibantu oleh orang lain.
Anak Y belum bisa menjaga diri sendiri dari lingkungannya, dikarenakan dia adalah anak perempuan, sehingga dia belum berani menghadapi tantangan yang ada di lingkungannya
Sama halnya dengan anak Y anak Z pun bisa menjaga dirinya dari lingkungan tempat tinggalnya.

8
Menghargai orang lain
Sebenarnya anak X sudah bisa belajar untuk menghargai orang lain, tetapi terkadang dia menunjukan rasa egoisnya kepada orang lain, sehingga dia belum bisa belajar menghargai temannya dengan baik
Anak Y memiliki sifat yang baik dan sudah bisa belajar untuk menghargai temannya ataupun orang lain. Sehingga anak Y sangat disukai oleh teman-temannya dan memiliki banyak teman.
Anak Z belum bisa menghargai orang lain, dia masih memikirkan dirinya sendiri dalam melakukan apapun. Tetapi terkadang dia bisa menghargai temannya jika temannya sedang dalam keadaan sedih.
Sumber: analisis peneliti,2011
        Berdasarkan pemaparan table diatas, anak dari keluarga X, Y dan Z mereka memiliki percapaian perkembangan sosial emosional yang berbeda-beda. Anak dari keluarga X dan Z adalah anak yang manja dimana segala kegiatan yang menyangkut dengan dirinya selalu dilakukan oleh orangtuannya atua keluarganya seperti kemandirian (makan, mandi, mengurus barang-barnag miliknya sendiri). Keadaan demikian disebabkan oleh faktor lingkungan dan pendidikan keluarga. Sebenarnya orangtua belum tepat mengartikan sikap kasih sayang terhadap anaknya, karena sebagian besar mereka terlalu memanjakan anaknya dengan memenuhi segala keinginan anak tanpa didasari alasan yang tepat. Sikap tersebut dapat mengakibatkan anak menjadi ketergantungan terhadap pelayanan dari orangtuannya.
        Sedangkan anak dari keluarga Y memiliki pencapaian perkembangan sosial emosional yang bagus, hamper semua tahapan tersebut sudah dimiliki olehnya. Keberhasilan tersebut didapatkannya dari faktor lingkungan keluarga yang mendidik anak untuk dapat hidup mandiri. Selain itu anggota keluarga lainnya seperti kakak-kakanya yang sudah dewasa dan mengajarkannya untuk tidak bersikap manja kepada kedua orangtuannya, sehingga anak dari keluarga Y dapat mencapai perkembangan sosial emosional dengan baik.
        Faktor usia yang masih dini menyebabkan anak belum bisa bagaimana cara menghargai orang lain (pendapat orang lain dan milik orang lain). Begitupun halnya dengan rasa tanggung jawab dan kemampuan mengungkapkan diri mereka belum bisa karena faktor usia yang masih dini dan faktor lingkungan serta faktor keluarga. Dimana anak seusia mereka masih dalam pengasuhan yang dimanjakan oleh orangtuannya. Berdasarkan data, bahwa anak dalam bekerjasama dengan teman dan anggota keluarganya ini sebenarnya tergantung dari bagaimana orangtua melakukan pendidikan di keluarga masing-masing.
        Menurut Syamsu Yusuf LN, (2005:122), perkembangan sosial emosional merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.
        Selanjutnya menurut Syamsu Yusuf LN, (2005:125), perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orangtua, anak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan keperluan terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orangtua kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan, pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat minder, (2) senang mendominasi orang lain, (3) bersifat egois, (4) senang mengisolasi diri, (5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan (6) kurang memperdulikan norma dalam perilaku.
        Demikian yang terjadi di tiga keluarga X, Y dan Z. Lingkungan sosial di tiga keluarga tersebut memang kurang kondusif, dikarenakan kurangnya waktu orangtua untuk memberikan pendidikan, bimbingan ataupun teladan kepada anaknya. Mereka lebih menyerahkan hal itu kepada anggota keluarga yang mereka percayai untuk mengasuh atau membimbing anaknya selama mereka tidak di rumah atau bekerja.
        Sedangkan emosi menggambarkan tentang bagaimana perasaan individu tentang dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Perasaan yang muncul biasanya disertai dengan perubahan fisik seperti tubuh yang menegang, gemetar, mengigil, aliran darah yang cepat, begitu juga dengan raut muka yang juga turut mengalami perubahan. Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005:115), emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi suatu situasi tertentu, seperti gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), dan perasaan yang lainnya.
        Perkembangan emosi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial walaupun masing-masing ada kekhususannya. Yang berkaitan dengan emosi adalah perhatian, pujian, kasih sayang dan lain-lain. Dalam hal ini, anak dari ketiga keluarga X,Y dan Z sudah dapat mengungkapkan perasaan atau emosi yang ada didalam dirinya. Jika mereka sedang senang, sedih ataupun marah, mereka selalu mengungkapkannya secara langsung baik terhadap orangtuannya maupun kepada teman ataupun orang lain. Pada saat mereka melakukan suatu hal yang baik, mereka akan diberikan penghargaan berupa pujian, doa dan kasih sayang yang ditujukan dengan memberikan hadiah atau barang yang ingin dimilikinya oleh orangtuanya. Sehingga anak merasa bahwa mereka mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua orangtuannya.
        Bahwa perkembangan sosial emosional anak dapat terlihat dari bagaimana ketiga keluarga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang berbentuk kemandirian menghargai orang lain miliki orang lain dan pendapat orang lain, rasa tanggungjawab, kemampuan bekerjasama dan kemampuan mengungkapkan diri, ternyata dari ketiga anak telah memiliki kemampuan mengungkapkan diri, sebagaimana yang diajarkan oleh orangtuannya untuk terbuka kepada keluarganya. Sebagaimana yang diajarkan oleh orangtuannya untuk terbuka kepada keluargannya.
        Seperti yang dikemukakan oleh Anggani Sundono, MA (1999:55), faktor sosial emosional merupakan kepribadian dan pembiasaan yang dapat membentuk:
a.       Kemandirian, yaitu mampu mengurus diri sendiri. Dalam kemandirian anak diri keluarga X dan Z belum memiliki sifat kemandirian, karena mereka masih dibantu oleh keluarganya didalam segala hal. Sedangkan anak dari keluarga Y sudah bisa mandiri dalam melakukan segala aktivitasnya.
b.      Kebiasaan menghargai orang lain yaitu apa yang dimiliki orang lain dan pendapat orang lain. Anak harus belajar menghargai orang lain yang ada di sekitarnya, anak dari keluarga X dan keluarga Z belum bisa menghargai teman ataupun orang lain yang ada di sekitarnya. Sedangkan anak dari keluarga Y sudah bisa menghargai temannya.
c.       Rasa tanggungjawab. Rasa tanggungjawab belum dimiliki oleh kedua anak dari keluarga X dan keluarga Y. tetapi anak dari keluarga Z sudah bisa bertanggungjawab akan yang dia telah lakukan.
d.      Kemampuan bekerjasama dna kemapuan mengungkapkan diri. Dalam hal ini anak di keluarga Y dan Z sudah dapat bekerja sama dengan baik dalam bermain dengan teman sebayanya. Sedangkan anak dari keluarga X belum bisa bekerjasama dengan baik dalam bermain dengan teman sebayanya. Menurut piaget (1932) dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidikan PAUD Nonformal Tingkat Dasar menemukan bahwa interaksi teman sebaya sebagai satu sumber kognitif utama juga sebagai perkembangan sosial, terutama sekali untuk perkembangan bermain peran dan empati. Melalui pembangunan dan mempertahankan perhubungan teman sebaya dan pengalaman-pengalaman sosial yang berbedabeda tipenya, khususnya konflik teman sebaya, anak-anak memperoleh pengetahuan tentang dirinya dan orang lain.
Dari pernyataan tersebut sudah jelas bahwa anak dari ketiga keluarga X dan Z belum berkerativitas dengan positif, dan ini akan berguna bagi perkembangan mereka selanjutnya, sedangkan anak dari keluarga Y sudah bisa mampu berkerativitas dengan positif. Sebagai orangtua hendanya memperhatikan beberapa syarat penting guna mempelajari sosial emosional agar tujuan yang ditetapkan dapat tercapai dan perkembangan sosial emosional pada anak harus di pelajari yaitu melalui bimbingan atau orangtuannya yakni dengan memberikan cara pemberian contoh dan memotivasi mereka supaya mereka memiliki keyakinan bahwa mereka akan mampu melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sosial emosionalnya. Dan khususnya pada anak usia dini ini sangat penting mengingat pada masa ini merupakan masa keemasan yang semestinya perlu diterapkan hal-hal positif bagi pertumbuhan sosial emosional anak, hendaknya orangtua dapat merangsang anak untuk melakukan kegiatan dan dapat menumbuhkan keterampilan dan kreativitas anak.

                                                TABEL. IV.5
                MATRIKS HASIL PEMBAHASAN
Aspek
Sumber Data
      Keluarga X
    Keluarga Y
   Keluarga Z
Pendidikan
     Orang tua
Latar belakang pendidikan orang tua yang rendah, membentuk pola asuh membebaskan. Pendidikan orangtua yang rendah menjadi salah satu faktor “ketakutan” untuk mendidik anak sehingga dalam hal pendidikan lebih mempercayakan pada sekolah, guru ngaji atau tetangga dan saudaranya yang memiliki pendidikan lebih tinggi.
Latar belakang pendidikan orangtua, memberikan pengaruh yang signifikan kepada anak. Bentuk pola asuh yang membebaskan anak ( tidak dipantau langsung oleh orangtua), dan condong lebih mempercayakan pendidikan anaknya di sekolah.
Latar belakang pendidikan orangtua sangatlah berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan kepada anak, dengan latar belakang pendidikan yang rendah memicu orang tua menerapkan pola asuh tertutup bahkan bebas, latar belakang pendidikan yang rendah. Menekankan kepecayaan pendidikan kepada sekolah
Pekerjaan
    Orang tua
Mata pencaharian dengan memiliki lahan sendiri, mendorong keleluasaan orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (aspek ekonomi), sehingga dengan kepemilikan lahan sendiri akan memberikan peluang komunikasi orang tua dengan anak dan orang tua dapat mengatur waktu pertemuan orang tua dengan anak sesuai keinginan.
Memiliki lahan sendiri, memiliki penghasilan yang lebih dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pengelolaan lahan sendiri, memberikan kebebasan waktu untuk bekerja sehingga akan memberikan kesempatan pula kepada orang tua untuk berkomunikasi atau menyediakan waktunya khusus untuk anak.
Mata pencaharian buruh tani lebih terikat dengan waktu, karena penghasilannya lebih rendah( keuntungan dibagi dengan pemilik lahan). Tentunya, mata pencaharian buruh tani cenderung sulit untuk menyempatkan waktu dengan anak, sehingga lebih banyak anak bermain diluar dengan dititipkan kepada saudaranya.

Lama bekerja
    Orang tua
Lama bekerja ibu yang lebih dari 12 jam dan ayah yang pada malam harinya harus kembali untuk menjaga kebunnya sangatlah menyita waktu untuk bertemu antara orang tua dengan anak peranan orang paling dekat seperti nenek atau kakeknya dalam menggantikan peran orang tua dianggap lebih efektif. Karena, lingkungan yang salah dengan perhatian yang kurang akan membentuk kepribadian anak yang negatif.
Jumlah lama pekerjaan lebih dari 12 jam, akan sangat menyita kebutuhan kebersamaan antara orang tua dengan anak, sehingga mencoba semaksimal mungkin mengelola pekerjaannya dan meluangkan waktunya untuk memberikan perhatian kepada anak.
12 jam bekerja memberikan keterbatasan waktu, terutama ibu dalam memberikan pengasuhannya kepada anak. Sehingga, pembagian waktu dan pekerjaan sangatlah penting antara ibu dan ayah mungkin ibu bekerja selama 6 jam kemudian pulang ke rumah dan ayah bekerja selama 12 jam sesuai dengan target waktu bekerja.
Pengetahuan atau pemahaman orangtua terhadap pola asuh anak

Pemahaman pola asuh orang tua terhadap anak, secara teoritis (melalui jalur pendidikan khusus) tidak diperolehnya, tetapi pemahaman pola asuh orangtua terhadap anak diperoleh dari kebiasaan atau norma keluarga, yang dibawa sejak turun temurun sehingga menjadi kebiasaan atau norma yang melekat erat.
Pemahaman pola asuh orangtua terhadap anak, lebih banyak diperoleh melalui jalur pendidikan informal (keluarga) sebagai bentuk budaya atau kebiasaan keluarga untuk membangun generasi penerusnya. Pelestarian budaya atau norma yang dimiliki oleh orangtua, secara turun temurun dilakukan melalui bentuk pola asuh orangtua terhadap anak-anaknya didalam keluarga.
Pemahaman pola asuh orang tua terhadap anak, lebih banyak di peroleh secara turun temurun. Latar belakang pendidikan yang rendah serta kesibukan orangtua dalam bekerja, membentuk kehidupan konstan keluarga( tetap), tidak ingin berfikir rumit-rumit tetapi yang mudah dicerna dan sederhana.
Pengetahuan atau pemahaman orangtua terhadap perkembangan sosial emosional anak

Orang tua tidak mengerti dan paham secara teoritis tentang perkembangan sosial emosional anak, tetapi lebih menekankan pada logika berfikir positif orang tuannya, yaitu: “jika anak di didik dengan positif maka dewasa kelak akan positif”.
Orang tua tidak mengerti dan paham secara teoritis tentang perkembangan sosial emosional anak, tetapi orang tua memiliki prinsip dalam mendidik anaknya, yaitu “anak tidak boleh menyimpang dari aturan agama dan pemerintah
Orang tua tidak mengerti dan paham secara teoritis tentang perkembangan sosial emosional anak, tetapi orang tua berusaha memberikan perhatiannya kepada anak, walau sedikit waktu. Karena orang tua memegang prinsip “jika anak tidak diperhatikan termasuk penyiksaan pasif”.
Pola asuh
Orang tua
Terjadinya penyimpangan perilaku anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orangtua. Hal ini terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak untuk memperoleh perlindungan, dukungan dan asuhan dari orang tua dalam segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan terhadap dirinya. Sehingga secara umum, pola asuh yang diterapkan adalah pola asuh authoritative dan pola asuh permissive indulgent. Walaupun begitu pada kenyataannya keluarga X tidak terpaku pada kedua pola asuh itu saja, tetapi mereka juga melakukan jenis pola asuh yang lainnya.
Secara umum, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya yaitu pola asuh permissive indulgent dan pola asuh authoritative. Permissive indulgent atau pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya.
Sedangkan pola asuh authoritative adalah gaya orangtua mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. tindakan verbal member dan menerima dimungkinkan, dan orangtua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orangtua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagi respons terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa. Mandiri dan sesuai dengan usia mereka.
Pola asuh yang diterapkan yaitu pola asuh authoritative, yang senantiasa memberikan kebebasan kepada anak untuk berkreasi dan bersosialisasi di bawah pengawasan yang lebih tua. Dan pola asuh permissive yang menuruti semua keinginan anak tersebut dan anak tunggal yang dimiliki oleh keluarga. Sehingga anak diperlakukan manja oleh keluarganya. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya, mereka cenderung tidak menegur atau memperhatikan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh keluarga, namun tipe ini bersifat hangat sehingga seringkali disukai oleh semua anak.
Tetapi, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.

Perkembangan sosial emosional anak
Anak usia 4-5 tahun
Anak jadi mudah tersinggung, pemurung, tidak bahagia dan mudah terpengaruh. Namun anak memiliki sikap bersahaja degan orang lain, memiliki sikap percaya diri yang tinggi, memiliki rasa yang ingin tahu yang tinggi dan mau bekerjasama.
Anak menjadi lebih banyak dia, dan mudah terpengaruh oleh orang lain. Namun anak memiliki sikap mandiri, bersahabat (mudah bergaul), memiliki sikap percaya diri, cepat diajak kerjasama dan sikap ingin tahu yang tinggi.
Anak terlihat pendiam sikap ketakutan untuk bersikap (melakukan sesuatu), emosional, karena bentuk komunikasi yang diterapkan antara orang tua dengan anak sangatlah kurang. Namun anak memiliki sikap percaya diri, mudah bergaul dan mudah di ajak kerjasama.
                Sumber : Analisis Peneliti,2011
 

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dikemukakan pada bab IV,peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian ini sebagai berikut:
1.       Pemahaman orang tua mengenai pola asuh anak untuk mengembangkan sosial emosional anak usia dini.
Pengetahuan atau pemahaman pola asuh orang tua pola asuh anak untuk mengembangkan sosial emosional anak, secara teoritis mereka tidak mengetahuinya dan tidak pernah mendapatkannya dari jalur pendidikan formal,buku maupun penyuluhan tentang hal tersebut. Tetapi pemahaman pola asuh orang tua terhadap anak lebih banyak mereka dapatkan melalui jalur pendidikan informal (keluarga) dan dari kebiasaan atau norma keluarga, yang dibawa sejak turun temurun sehingga menjadi kebiasaan atau norma yang melekat erat dan berguna untuk membangun generasi penerusnya. Dan faktor dari latar belakang pendidikan yang rendah serta kesibukan orang tua dalam bekerja, dapat menjadikan kehidupan yang ada didalam keluarga menjadi kehidupan keluarga yang konstan (tetap), sehingga orangtua tidak ingin menyulitkan diri dan berfikir rumit mengenai hal itu, tetapi hal tersebut dapat dengan mudah dicerna dan difahami secara sederhana.
                                Begitupun dengan pengetahuan ataupun pemahaman tentang perkembangan sosial emosional anak, karena latar belakang pendidikan orang tua yang rendah, sehingga orangtua tidak mengerti dan belum paham secara teoritis tentang perkembangan tersebut, tetapi lebih menekankan pada logika berfikir positif orang tuanya bahwa “jika anak di berikan pendidikan yang positif, maka anak akan selamanya berperilaku positif”. Dan orangtua juga memiliki prinsip dalam mendidik anaknya, yaitu : walaupun waktu yang mereka miliki untuk bersama dengan anak sangat terbatas, tetapi orangtua selalu berusaha memberikan perhatian kepada anaknya. Karena dengan perhatian yang mereka berikan dapat dijadikan sebagai obat rasa bersalah mereka terhadap anak mereka yang selalu mereka tinggal selama mereka pergi bekerja.
2.       Pola asuh orang tua yang bekerja di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang .
Dikarenakan kurangnya interaksi orangtua dengan anak dan kurangnya control orangtua terhadap aktivitas anak, menjadikan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua yang bekerja kepada anaknya yaitu pola asuh permissive indulgent dan pola asuh tersebut mereka mengharapkan bahwa anak mereka anak tetap menjadi pribadi yang baik walaupun mereka tidak memiliki waktu bersama dengan orangtuanya. Walaupun begitu pada kenyataannya orangtua tidak terpaku pada kedua pola asuh itu saja, tetapi mereka juga melakukan jenis pola asuh yang lainya.
3.       Perkembangan sosial emosional anak usia 4-5 tahun di Desa pagerwangi kecamatan lembang
Perkembangan sosial emosional anak usia 4-5 tahun pada keluarga yang orangtuanya bekerja mengalami hambatan dalam pencapaian perkembangannya. Mereka belum dapat mencapai tahapan perkembangan sosial emosionalnya secara matang dikarenakan kurangnya didikan atau bimbingan yang diberikan orangtuanya dalam memahami pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Keadaan demikian disebabkan oleh faktor lingkungan dan pendidikan keluarga.
Sebenarnya orangtua belum tetap mengartikan sikap kasih sayang terhadap anaknya, karena sebagian besar mereka terlalu memanjakan anaknya dengan memenuhi segala keinginan anak tanpa didasari alasan yang tepat. Sikap tersebut dapat mengakibatkan anak menjadi ketergantungan terhadap pelayanan dari orangtuanya.

 DAFTAR PUSTAKA

Ira Petranto. (2005). Pola Asuh Anak. http://www.polaasuhanak.com. (Asscesed, 8th April, 12.15 pm)
Rina M. Taufik. (2007). Pola Asuh Orang Tua. http://www.tabloid_nakita.com. (Asscesed, 8th April, 12.15 pm)
Elizabeth B. Hurlock. (1999). Perkembangan Anak.  Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Theresia S. Indira. (2008).  Pola Asuh Penuh Cinta. http://www.polaasuhpenuhcinta.com. (Asscesed, 8th April, 12.15 pm)
Ahmadi. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Alimul, Hidayat. 2007. Metode Penelitian dan Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
Arikunto. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: . PT Rineka Cipta.
Azwar, S. 2009. Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bahri.S. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Galihjoko, 2009. Pengaruh Tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak pada masyarakat. Dari Http: www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 22 Maret 2010
Godam64. 2008. Jenis /Macam Tipe Pol Aasuh Orang Tua Pada Anak Dan Cara Mendidik/Mengasuh Anak Yang Baik. Dari Http:www.Organisasi.org komunitas dan perpustakaan online.Diakses taanggal 22 Maret 2010.
Junaidi, W. 2010. Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua. Dari Http: www.blogspot.com. Diakses tanggal 22 Maret 2010
Latipun. 2005. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Nasir. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ngalim. 2009. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). . Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Patmonodewo,S. 2003. Pendidikan Anak Pra Sekolah. Jakarta. PT Rineka