Oleh:
JAKA WISNU SAPUTRA
NIM: 09030262
STKIP SILIWANGI
Oleh:
JAKA WISNU SAPUTRA
NIM: 09030262
STKIP SILIWANGI
ABSTRAK
Penelitian ini
dilakukan di Desa Pagerwangi
Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana peran orangtua untuk memenuhi kebutuhan dasar anak terutama dalam
pola asuhnya.
Penelitian ini
membahas tentang pemecahan
masalah untul Pola Asuh Orangtua yang Bekerja terhadap Sosial Emosional Anak
Usia 4-5 Tahun.di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Dalam penyusunan Penelitian ini
penulis menggunakan metode studi kasus. Teknik pengumpulan datanya meliputi
observasi, merumuskan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data,
menyimpulkan hasil penelitian dan menyusun laporan, dengan tujuan penulis dapat
mengetahui dan mempelajari tingkah
laku dan kebiasaan masyarakat khususnya pola asuh orangtua terhadap anak. Sementara untuk pengembangannya melakukan metode
populasi dan sampel.
Hasil dari analisis data ini dibuatkan kerangka
dari angket-angket yang dikumpulkan dan solusi untuk memenuhi kebutuhan dasar
anak dalam bidang pengasuhan di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang Kabupaten
Bandung Barat.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam
kegiatan masyarakat sehari-hari terutama untuk pola asuh orangtua.
PENDAHULUAN
Pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Dalam jalur
pendidikan informal dikenal dengan jalur pendidikan yang ada di dalam suatu keluarga
dan lingkungannya. Dalam pelaksanaannya, pendidikan anak dalam keluarga
mempunya peran menentukan bagi pencapaian mutu sumber daya manusia . hal ini di
karenakan memlalui pendidikan keluarga, individu pertama kali mempelajari dan
mengenal sistem nilai budaya yang berwujud aturan-aturan khusus, norma,
kebiasaan dan teladan dari masyarakat lain.
Antara
pendidikan dengan keluarga adalah dua istilah yang tidak bisa di pisahkan ,
sebab dimana ada keluarga disitu ada pendidikan. Orang tua dan anak tidak dapat
dipisahkan, itu semua merupakan satu keharusan yang ada di dalam keluarga.
Pendidikan yang berlangsung didalam keluarga yang dilaksanakan oleh orang tua
sebagai tugas dan tanggungjawabnya dalam mendidik anak dalam keluarga.
Pendidikan dalam keluarga ini dapat tercapai dan di harapkan adanya kesadaran
setiap masyarakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini dalam keluarga.
Serta kecerdasan orang tua mempunyai kesadaran bahwa mereka memiliki peran
penting dalam mendidik anak didalam keluarga.
Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang
individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak di
peroleh terutama melalui interaksi antara orang tua-anak. Dalam pola usaha
orang tua akan menunjukan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan
pendidikan terhadap anaknya, oleh karena itu keluarga mempunyai peranan penting
dalam mengembangkan potensi anak.
Disebut
sebagai lembaga pertama karena pada umumnya setiap anak dilahirkan dan kemudian
dibesarkan pada awal pertama dalam lingkungan keluarga. Kemudian dibesarkan
pada awalnya pertama dalam lingkungan keluarga kemudian disebut sebagai lembaga
utama bagi anak, karena atau sering disebut masa golden age. Karena itulah
keluarga dipandang sebagai lembaga pertama dan utama bagi anak.
hubungan anak dengan orang tua dan anggota lain sering di angap sebagai sistem atau jaringan yang saling berinteraksi.sistem tersebut berpengaruh pada anak baik secara langsung maupun tidak langsung,melalui sikap dan carapengasuhan anak oleh tua.mengasuh anak bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik ataau jasmaninya saja,melainkan juga pada pemenuhan optimalisasi perkmbangan yang lain emoso,social,bahasa,motorik dan kognifif.
peran keluarga dalam pendidikan anak usia dini sangatlah besar,terutama pada jalur pendidikan informal.anak lebih banyak menghabskan waktunya di rumah dari pdada di luar rumah sehingga di butuhkan pengawasan serta perhatian lebih dari orang tua,terutama di bawah anak berusia 5 tahun.memiliki peran yang sangat besar di dalam hal menentukan karakter dan memeksimalkan kecerdasan anak.oleh karena itu di perlukan pola asuh yang dapat memaksimalkan kecerdasan yang harus di miliki oloeh seorang anak.pola asuh secara umum diarahkan pada cara orang tua memperlakukan anak dalam berbagai hal,baik dalam berkomunikasi,mendisiplinkan,memonitor,mendorong pola asuh yang tepat sesuai dengan perkembangan anaknya,agar anak mempersepsikan pola asuh yang di berikan kepadanya dengan baik.pola asuh adalah sikap orang tua dalam membingbing anak-anaknya.perlakuan orang tua seorang anak akan mempengaruhi bagai mana anak itu memandang,menilai,dan juga mempengaruhi seorang anak tersebut terhadap orang tua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka.orang tua yang satu dengan yang lain memberikan pola asuh yang berbeda dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya.
Pada saat sekarang yang terjadi kenyataannya adalah berkurangnya perhatian kepada anak di karenakan orang tuanya bekerja.hal tersebut mengakibatkan terbatasnya hubungan interaksi orang tua dengan anaknya.anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya di karenakan keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.sedangkan pada usia ini anak sangat membutuhkan perhatian lebih dari orang tuanya terutama untuk perkembangan kepribadiannya.anak yang di tinggal orang tuanya bekerja cenderung ersikap manja.basanya orang tua akan merasa bersalah karena telah meninggalkan anaknya seharian.sehingga orang tua akan memenuhi semua permintaan anaknya untuk menebus kesalahannya tersebut,tanpa berfikir permintaan anaknya baik atau buruk untuk perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua.melalui orang tua,anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yangf berlaku di lingkungannya.ini di sebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Salah satu aspek yang enting untuk di kembangkan pada anak usia prasekolah adalah aspek perkembangan social emosional.hal tersebut dikarenakan perkembangan social emosional yang berkembang dengan sehat dan memperoleh dukungan positif akan menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan anak tersebut kemudian hari.
setiap anak atau individu mempunyai emosi yang berbeda.ada yang bisa mengontrol emosinya dan ada pula yang kurang bisa.pada saat bayi pun,emosi bisa terlihat dari yang menangis saat di gendong orang tua yang belum dikenalnya hinga belajar mengasimilasi peristiwa agar sesuai dengan struktur mentalnya.perkembangan emosional anak di pengaruhi oleh lingkungan social dan bagai mana orang lain bereaksi terhadapnya.sosialnya emosi berlangsung secara bertahap dan melaui proses penguatan dan modeling.keluarga sebagai tempat di mana anak memperoleh pengalaman pertamanya sangat menentukan perkembangan sosio-emosional anak.cara pengasuhan orang tua menentukan kepribadian anak kelak.
hubungan anak dengan orang tua dan anggota lain sering di angap sebagai sistem atau jaringan yang saling berinteraksi.sistem tersebut berpengaruh pada anak baik secara langsung maupun tidak langsung,melalui sikap dan carapengasuhan anak oleh tua.mengasuh anak bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik ataau jasmaninya saja,melainkan juga pada pemenuhan optimalisasi perkmbangan yang lain emoso,social,bahasa,motorik dan kognifif.
peran keluarga dalam pendidikan anak usia dini sangatlah besar,terutama pada jalur pendidikan informal.anak lebih banyak menghabskan waktunya di rumah dari pdada di luar rumah sehingga di butuhkan pengawasan serta perhatian lebih dari orang tua,terutama di bawah anak berusia 5 tahun.memiliki peran yang sangat besar di dalam hal menentukan karakter dan memeksimalkan kecerdasan anak.oleh karena itu di perlukan pola asuh yang dapat memaksimalkan kecerdasan yang harus di miliki oloeh seorang anak.pola asuh secara umum diarahkan pada cara orang tua memperlakukan anak dalam berbagai hal,baik dalam berkomunikasi,mendisiplinkan,memonitor,mendorong pola asuh yang tepat sesuai dengan perkembangan anaknya,agar anak mempersepsikan pola asuh yang di berikan kepadanya dengan baik.pola asuh adalah sikap orang tua dalam membingbing anak-anaknya.perlakuan orang tua seorang anak akan mempengaruhi bagai mana anak itu memandang,menilai,dan juga mempengaruhi seorang anak tersebut terhadap orang tua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka.orang tua yang satu dengan yang lain memberikan pola asuh yang berbeda dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya.
Pada saat sekarang yang terjadi kenyataannya adalah berkurangnya perhatian kepada anak di karenakan orang tuanya bekerja.hal tersebut mengakibatkan terbatasnya hubungan interaksi orang tua dengan anaknya.anak-anak kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya di karenakan keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.sedangkan pada usia ini anak sangat membutuhkan perhatian lebih dari orang tuanya terutama untuk perkembangan kepribadiannya.anak yang di tinggal orang tuanya bekerja cenderung ersikap manja.basanya orang tua akan merasa bersalah karena telah meninggalkan anaknya seharian.sehingga orang tua akan memenuhi semua permintaan anaknya untuk menebus kesalahannya tersebut,tanpa berfikir permintaan anaknya baik atau buruk untuk perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua.melalui orang tua,anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yangf berlaku di lingkungannya.ini di sebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Salah satu aspek yang enting untuk di kembangkan pada anak usia prasekolah adalah aspek perkembangan social emosional.hal tersebut dikarenakan perkembangan social emosional yang berkembang dengan sehat dan memperoleh dukungan positif akan menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan anak tersebut kemudian hari.
setiap anak atau individu mempunyai emosi yang berbeda.ada yang bisa mengontrol emosinya dan ada pula yang kurang bisa.pada saat bayi pun,emosi bisa terlihat dari yang menangis saat di gendong orang tua yang belum dikenalnya hinga belajar mengasimilasi peristiwa agar sesuai dengan struktur mentalnya.perkembangan emosional anak di pengaruhi oleh lingkungan social dan bagai mana orang lain bereaksi terhadapnya.sosialnya emosi berlangsung secara bertahap dan melaui proses penguatan dan modeling.keluarga sebagai tempat di mana anak memperoleh pengalaman pertamanya sangat menentukan perkembangan sosio-emosional anak.cara pengasuhan orang tua menentukan kepribadian anak kelak.
Kondisi
keluarga yang memiliki anak usia 4-5 tahun di kampung sukanagara , Rw 04 pagerwangi
kecamatan lembang kabupaten bandung barat, anak-anak tersebut selalu ditinggal
oleh orang tuanya bekerja dari pagi hari sampai sore hari. Anak-anak tersebut
sudah terbiasa dengan kondisi tersebut ,tetapi hal tersebut bisa berampak buruk
bagi perkembangan mereka,khususnya perkembangan social dan emosional anak
tersebut, terkadang terdapat orang tua yang mengajak anaknya yang masih berusia
dini untuk ikut kerja ke tempatnya bekerja,sehingga banyak anak usia dini yang
tidak mengikuti program pendidikan anak usia dini.hal itu mengakibatkan
banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan tugas perkembangan anaknya
sendiri.dan pada umumnya orang tua memiliki kesulitan dalam penerapan pola asuh
orang tua terhadap anak,sehingga pola asuh yang diberikan orang tua belum
optimal.
Sehubungan
dengan masalah yang telah diuraikan diatas,maka penulis tertarik untuk untuk
mengambil topic mengenai”pola asuh orang tua yang bekerja terhadap perkembangan
social emosional anak usia 4-5 didesa pagerwangi kecamatan lembang kabupaten
bandung barat.(studi kasus terhadap keluarga pekerja yang memiliki anak usia
prasekolah dipedesaan)”
PEMBAHASAN
Pengertian Pola
Asuh
a. Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. (Ira Petranto, 2005). Misalnya ketika orang tua menetapkan untuk menutup pintu kamar mandi ketika sedang mandi dengan diberi penjelasan, mengetuk pintu ketika masuk kamar orang tua, memberikan penjelasan perbedaan laki-laki dan perempuan, berdiskusi tentang hal yang tidak boleh dilakukan anak misalnya tidak boleh keluar dari kamar mandi dengan telanjang, sehingga orang tua yang demokratis akan berkompromi dengan anak. (Debri, 2008).
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Orang tua dengan perilaku ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. (Ira Petranto, 2005). Misalnya ketika orang tua menetapkan untuk menutup pintu kamar mandi ketika sedang mandi dengan diberi penjelasan, mengetuk pintu ketika masuk kamar orang tua, memberikan penjelasan perbedaan laki-laki dan perempuan, berdiskusi tentang hal yang tidak boleh dilakukan anak misalnya tidak boleh keluar dari kamar mandi dengan telanjang, sehingga orang tua yang demokratis akan berkompromi dengan anak. (Debri, 2008).
b. Otoriter- Pengertian Pola Asuh Menurut
Para Ahli
Pola asuh ini sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman mislalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. (Ira Petranto, 2005). Misalnya anaknya harus menutup pintu kamar mandi ketika mandi tanpa penjelasan, anak laki-laki tidak boleh bermain dengan anak perempuan, melarang anak bertanya kenapa dia lahir, anak dilarang bertanya tentang lawan jenisnya. Dalam hal ini tidak mengenal kompromi. Anak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus memenuhi target yang ditetapkan orang tua. Anak adalah obyek yang harus dibentuk orang tua yang merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk anak-anaknya. (Debri, 2008).
Pola asuh ini sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman mislalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. (Ira Petranto, 2005). Misalnya anaknya harus menutup pintu kamar mandi ketika mandi tanpa penjelasan, anak laki-laki tidak boleh bermain dengan anak perempuan, melarang anak bertanya kenapa dia lahir, anak dilarang bertanya tentang lawan jenisnya. Dalam hal ini tidak mengenal kompromi. Anak suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus memenuhi target yang ditetapkan orang tua. Anak adalah obyek yang harus dibentuk orang tua yang merasa lebih tahu mana yang terbaik untuk anak-anaknya. (Debri, 2008).
c. Permisif
Pola asuh ini memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur / memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. (Ira Petranto, 2005). Misalnya anak yang masuk kamar orang tua tanpa mengetuk pintu dibiarkan, telanjang dari kamar mandi dibiarkan begitu saja tanpa ditegur, membiarkan anak melihat gambar yang tidak layak untuk anak kecil, degan pertimbangan anak masih kecil. Sebenarnya, orang tua yang menerapka pola asuh seperti ini hanya tidak ingin konflik dengan anaknya. (Debri, 2008).
Pola asuh ini memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur / memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka, sehingga seringkali disukai oleh anak. (Ira Petranto, 2005). Misalnya anak yang masuk kamar orang tua tanpa mengetuk pintu dibiarkan, telanjang dari kamar mandi dibiarkan begitu saja tanpa ditegur, membiarkan anak melihat gambar yang tidak layak untuk anak kecil, degan pertimbangan anak masih kecil. Sebenarnya, orang tua yang menerapka pola asuh seperti ini hanya tidak ingin konflik dengan anaknya. (Debri, 2008).
Karakteristik Anak Dalam Kaitannya dengan Pola Asuh
Orang tua
- Pola asuh demokratis akan menghasikan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain.
- Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
- Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial (Rina M. Taufik, 2006).
Faktor Utama yang Mempengaruhi Pola Asuh
a. Budaya
Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka.
b. Pendidikan Orang Tua
Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak.
c. Status Sosial Ekonomi
Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam mengasuh anak (Hurlock, E,B 2002).
Konsep Pola Asuh Orangtua
Definisi
Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka.
b. Pendidikan Orang Tua
Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak.
c. Status Sosial Ekonomi
Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam mengasuh anak (Hurlock, E,B 2002).
Konsep Pola Asuh Orangtua
- Pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak,yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk cara penerapan aturan,mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Theresia,2009)
- Pola Asuh menurut agama adalah cara memperlakukan anak sesuai dengan ajaran agama berartimemehami anak dari berbagai aspek,dan memahami anak dengan memberikan ola asuh yang baik ,menjaga anak dan harta anak yatim, menerima, mamberi perlindungan, pemeliharaan, perawatan dan kasih sayang sebaik – baiknya (QS Al Baqoroh:220)
Dari beberapa pengertian maka yang dimaksud pola asuh
dalam penelitian ini adalah cara orang tua bertndak sebagai suatu aktivitas
kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik secara individu atau bersama
– sama sebagai serangkaian usaha aktif untuk mengarahkan anaknya.
Bentuk Pola Asuh
Macam – macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind,(dikutip oleh Wawan Junaidi,2010),
terdapat 4 macam pola asuh orang tua :
(1). Pola Asuh Demokratis
- Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
(2). Pola asuh Otoriter
- Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
(3). Pola asuh Permisif
- Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
(4). Pola asuh Penelantar
- Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.
Dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak
– anak menurut Baumrind, (dikutip oleh Ira, 2006) adalah:
- Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak - anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain.
- Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
- Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri dan kurang matang secara sosial.
- Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri yang rendah, sering bolos dan bermasalah dengan teman.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh :
Setiap orang mempunyai sejarah sendiri – sendiri dan
latar belakang yang seringkali sangat jauh berbeda. Perbedaan ini sangat
memungkinkan terjadinya pola asuh yang berbeda terhadap anak. Menurut Maccoby
& Mc loby ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua yaitu:
- Sosial ekonomi
- Lingkungan sosial berkaitan dengan pola hubungan sosial atau pergaulan yang dibentuk oleh orang tua maupun anak dengan lingkungan sekitarnya. Anak yang sosial ekonaminya rendah cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau bahkan tidak pernah mengenal bangku pendidikan sama sekali karena terkendala oleh status ekonomi.
- Pendidikan: Pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Latar belakang pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola pikir orang tua baik formal maupun non formal kemudian juga berpengaruh pada aspirasi atau harapan orang tua kepada anaknya.
- Nilai-nilai agama yang dianut orang tua: Nilai – nilai agama juga menjadi salah satu hal yang penting yang ditanamkan orang tua pada anak dalam pengasuhan yang mereka lakukan sehingga lembaga keagamaan juga turut berperan didalamnya.
- Kepribadian: Dalam mengasuh anak orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian anak (Riyanto, 2002). Pendapat tersebut merujuk pada teori Humanistik yang menitikberatkan pendidikan bertumpu pada peserta didik, artinya anak perlu mendapat perhatian dalam membangun sistem pendidikan. Apabila anak telah menunjukkan gejala-gejala yang kurang baik, berarti mereka sudah tidak menunjukkan niat belajar yang sesungguhnya. Kalau gejala ini dibiarkan terus akan menjadi masalah di dalam mencapai keberhasilan belajarnya.
- Jumlah anak: Jumlah anak yang dimiliki keluarga akan mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua. Semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, maka ada kecenderungan bahwa orang tua tidak begitu menerapkan pola pengasuhan secara maksimal pada anak karena perhatian dan waktunya terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, (Okta Sofia, 2009).
Pola Asuh Orang Tua Dalam Keluarga
- Dalam kehidupan sehari-hari orang tua secara sadar atau tidak memberikan contoh yang kurang baik terhadap anaknya.misalnya meminta tolong dengan nada mengancam, tidak mau mendengarkan cerita anak tentang sesuatu hal, member nasihat tidak pada tempatnya dantidal pada waktu yang tepat, berbicara kasar pada anak,terlalu mementingkan diri sendiri, tidak mau mengakui kesalahan yang telah dilakukan.Beberapa contoh sikap dan perilaku diatas berdampak negative terhadap perkembangan jiwa anak.Sehingga efek negative yang terjadi adalah anak memiliki sikap keras hati,manja, keras kepala, pemalas, pemalu dam lain- lain.Semua perilaku diatas dipengaruhi oleh pola pendidikan orng tua .Pola asuh orang tua akan mempengaruhi perkembangan jiwa ana.Tipe kepemimpinan orang tua berdampak pada pol aasuh yamg terhadap anaknya,Disisi lain pola asuh orang tua bersifat demikkratis atau otoriter, atau bahkan pada sisis lain bersifat laissez faire atau tipe campuran antara demokratis dan otoriter, (Syaiful, 2004
Pola Perlakuan orang tua
(1). Overprotection (terlalu melindungi)
Perilaku Orang Tua:
- Kontak berlebihan pada anak
- Pemberian bantuan yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu sendiri
- Pengawasan kegiatan anak yang berlebihan
- Memecahkan masalah anak
Profil Tingkahlaku Anak:
- Perasaan tidak aman
- Agresif dan dengki
- Mudah merasa gugup
- Melarikan diri dari kenyataan
- Sangat tergantung
- Ingin menjdi pusat perhatian
- Bersikap menyerah
- Kurang mampu mengendalikan emosi
- Menolak tanggung jawab
- Suka bertengkar
- Sulit bergaul
- Pembuat onar (troubelmaker)
(2). Pola Perilaku Orangtua: Permissiveness
(pembolehan)
Perilaku Orangtua
- Memberikan kebebasan untuk berfikir
- Menerima pendapat
- Membuat anak lebih diterima dan merasa kuat
- Toleran dan memahami kelemahan anak
- Cenderung lebih suka member yang diminta anak daripada menerima
Profil Tingkahlaku Anak
- Pandai mencari jalan keluar
- Dapat bekerjasama
- Percaya diri
- Penuntut dan tidak sabaran
Perilaku Orangtua
- Bersikap masa bodoh
- Bersikap kaku
- Kurang memperdulikan kesejahteraan anak
- Menampilkan sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak
Profil Tingkahlaku Anak
- Agresif(mudah mara,gelisah, tidak patuh, suka bertengkar dan nakal)
- Submissive(kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut)
- Sulit bergaul
- Pendiam
- Sadis
(4). Pola Perilaku Orangtua: Acceptance (penerimaan)
Perilaku Orangtua
- Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus pada anak
- Menempatkan anak pada posisi yang penting di dalam rumah
- Mengebangkan hubungan yang hangat dengan anak
- Bersikap respek terhadap anak
- Mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya
- Berkomunikasi dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya
Profil Tingkahlaku Anak
- Mau bekerjasama
- Bersahabat
- Loyal
- Emosinya stabil
- Ceria dan bersikap optimis
- Mau menerima tanggung jawab
- Jujur
- Dapat dipercaya
- Memiliki perencanaan baik di masa depan
- Bersikap realistic (memahami kelebihan dan kekurangan secara obyektif)
(5). Pola Perilaku Orangtua: Domination (dominasi)
Perilaku Orangtua
- Mendominasi Anak
Profil Tingkahlaku Anak
- Bersikap sopan dan sangat hati-hati
- Pemalu, penurut, dan mudah bingung
- Tidak dapat bekerjasama
(6). Pola Perilaku Orangtua: . Submission (penyerahan)
Perilaku Orangtua
- Selalu memberi sesuatu yang diminta anak
- Membiarkan anak berperilaku semaunya sendiri
Profil Tingkahlaku Anak
- Tidak patuh
- Tidak bertanggung jawab
- Agresif dan teledor
- Bersikap otoriter
- Terlalu percaya diri
(7). Pola Perilaku Orangtua:
Punitiveness/Overdiscipline (terlalu disiplin)
Perilaku Orangtua
- Mudah memberikan hukuman
- Menanamkan kedisiplinan sangat keras
Profil Tingkahlaku Anak
- Impulsif
- Tidak dapat mengambil keputusan
- Nakal
- Sikap bermusuhan atau gresif
Sumber: dari Syamsu Yusuf. 2009 dalam Psikologi
Perkembangan Anak Dan Remaja
Dari ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak
bahwa sikap . acceptance merupakan yang paling baik untuk dimiliki atau
dikembangkan oleh orang tua (Syamsu, 2009)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Diana Baumrind
mengemukakan dua hasil penelitian yaitu : (1) ada 4 gaya perlakuan orang tua
yaitu: Authoritarian, permissive, authoritative, dan negalectfull. (2) dampak
gaya perlakuan orang tua terhadap perilaku anak
Pengaruh Parenting Style terhadap Perilaku Anak
(1). Parenting Style: Authoritarian
Sikap atau Perilaku Orang Tua
- Sikap acceptance rendah, namun kontrolnya tinggi.
- Suka menghukum secara fisik
- Bersikap mengomando (mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi)
- Bersikap kaku (keras)
- Cenderung emosional dan bersikap menolak
Profil Tingkah Laku Anak
- Mudah tersinggung
- Penakut
- Pemurung, tidak bahagia
- Mudah terpengaruh
- Mudah stres
- Tidak mempunyai arah masa depan
- Tidak bersahabat
(2). Parenting Style: Permisiveness
Sikap atau Perilaku Orang Tua- Sikap acceptancenya tingi, namun kontrolnya rendah
- Memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan / keinginannmya.
Profil Tingkah Laku Anak
- Bersikap impulsif dan agresif
- Suka memberontak
- Kurang memikliki rasa percaya diri dan pengendalian diri
- Suka mendominasi
- Tidak jelas arah hidupnya
- Prestasinya rendah
(3). Parenting Style: Authoritative
Sikap atau Perilaku Orang Tua
- Sikap acceptance dan kontrolnya tinggi.
- Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak
- Mendorong anak untuk menyatakan pendapat
- Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk
Profil Tingkah Laku Anak
- Bersikap bersahabat
- Memiliki rasa percaya diri
- Mampu mengendalikan diri
- Bersikap sopan
- Mau bekerjasama
- Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
- Mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas
- Berorientasi terhadap prestasi
Sumber: dari Syamsu Yusuf. 2009 dalam Psikologi
Perkembangan Anak Dan Remaja
Anak Prasekolah
Definisi Anak Prasekolah
- Anak Prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun (Biechler dan Snowman,)
- Anak yang terkategori para sekolah adalah anak dengan usia 3-5 tahun, (Elizabeth B. Hurlock )mengatakan bahwa kurun usia pra sekolah disebut sebagai masa keemasan (the golden age).
Perkembangan Anak Prasekolah
- Menurut Hurlock mengemukakan bahwa lima tahun pertama disebut dengan The Golden Years. Anak mengalami kecepatan kemajuan yang sangat cepat. Tidak hanya fisik tetapi juga secara sosial dan emosional. Anak bukan seoarang bayi lagi melainkan seorang yang sedang dalam proses awal mencari jati dirinya. Anak sudah menjadi cikal bakal manusia dewasa. Anak sulit diatur dan mulai sadar bahwa dirinya juga manusia yang mandiri.
Ciri – ciri masa kanak – kanak awal dapat diuraikan
sebagai berikut:
- Masa kanak – kanak awal merupakan masa “Preschool Age”. Masa ini adalah masa anak sebelum anak masuk pendidikan formal (SD).
- Masa kanak – kanak awal merupakan masa “ Pregang Age”
- Masa ini anak belajar dasar – dasar dari tingkah laku untuk mempersiapkan dirinya bagi kehidupan bersama.
- Masa kanak – kanak awal merupakan masa “Hunter Age”
- Masa ini anak senang menyalidiki dan ingin tahu apa yang ada disekitarnya.
- Masa kanak – kanak awal merupakan masa “Problem Age”
- Anak menunjukkan banyak problem tingkah laku yang harus diperhatikan oleh orang tua.
Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak
- Beberapa peran keluarga dalam pengasuhan anak adalah sebagai berikut:
- Terjalinnya hubungan yang harmonis dalam keluarga melalui penerapan pola asuh islami sejak dini, yakni:
- Pengasuhan dan pemeliharaan anak dimulai sejak pra konsepsi pernikahan. Ada tuntunan bagi orangtua laki-laki maupun perempuan untuk memilih pasangan yang terbaik sesuai tuntunan agama dengan maksud bahwa orangtua yang baik kemungkinan besar akan mampu mengasuh anak dengan baik pula.
- Pengasuhan dan perawatan anak saat dalam kandungan, setelah lahir dan sampai masa dewasa dan seterusnya diberikan dengan memberikan kasih sayang sepenuhnya dan membimbing anak beragama menyembah Allah SWT.
- Memberikan pendidikan yang terbaik pada anak,terutam pendidikan agama. Orangtua yang salih adalah model terbaik untuk memberi pendidikan agama kepada anak-anak. Penanaman jiwa agam yang dimulai dari keluarga, semenjak anak masih kecil dengan cara membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik. Dengan mencontoh keteladanan Rasulullah SAW adalah dengan menanamkan nilai-nilai akhlakul kharimah.
- Agama yang ditanamkan pada anak bukan hanya karena agama keturunan tetapi bagaimana anak mampu mencapai kesadaran pribadi untuk ber-Tuhan sehingga melaksanakan semua aturan agama
- Kesabaran dan ketulusan hati. Sikap sabar dan ketulusan hati orangtua dapat mengantarkan kesuksesan anak. Begitu pula memupuk kesabaran anak sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan pengendalian diri. Kesabaran menjadi hal yang penting dalam hidup manusia sebab bila kesabaran tertanam dalam diri seseorang dengan baik maka seseorang akan mampu mengendalikan diri dan berbuat yang terbaik untuk kehidupannya.
- Secara psikologis dapat ditelusuri bahwa bila anak dilatih untuk memiliki sifat sabar dengan bekal agama yang dimiliki akan berimplikasi positif bagi kehidupan anak secara pribadi dan bagi orang lain/masyarakat secara luas, diantaranya:
- Mewujudkan keselehan sosial dan kesalehan individu yaitu dengan terwujudnya kualitas keimanan pada individu dan masyarakat yang bertaqwa, beriman dan beramal saleh. Seseorang yang memiliki kesalehan sosial yang tinggi memiliki empati, sosialisasi diri, kesetiakawanan, keramahan, mengendalikan amarah, kemandirian, sikap ketenangan dan teratur berfikir serta cermat bertindak. Sikap yang ditunjukkan akibat kesabaran diri akan membuat individu mudah bergaul, dengan rasa aman dan damai, tanpa kekerasan. Sikap tersebut akan mampu memupuk konsep diri seseorang.
- Dapat membina hubungan yang baik antar individu dan punya semangat persaudaraan.
- Saat seseorang dalam kesabaran akan bertumpu pada nilai ketaqwaan dan ketaatan pada Allah SWT. Seseorang yang berada dalam keimanan dan ketaqwaan sebagaimana janji Tuhan akan memiliki jiwa yang tenang. Dalam jiwa seorang yang tenang akan menstabilkan tekanan pada amygdale (system saraf emosi), sehingga emosi stabil. Dalam keadaan emosi yang stabil, seorang mudah mengedalikan diri dengan baik.
- Orangtua wajib mengusahakan kebahagian bagi anak dan menerima keadaan anak apa adanya, mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT , serta mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Orangtua perlu tahu bahwa anak memiliki potensi yang luar biasa dan kesuksesan seseorang bukan mutlak ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja (hanya sekedar IQ tinggi) akan tetapi kecerdasan itu bersifat majemuk.
- Menurut Gardner bahwa pada diri anak dikenal istilah multiple intellegensi/kecerdasan ganda, yaitu:
- Kecerdasan linguistik: meliputi kemampuan dalam hal mengarang, membaca maupun berkomunikasi verbal. Tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh mereka yang berprofesi maupun orator.
- Kecerdasan logika-matematika. Jenis kecerdasan ini dapat membantu seseorang menemukan solusi persoalan yang melibatkan perhitungan angka.
- Kecerdasan visual-spasial. Tipe kecerdasan ini memudahkan seseorang untuk menemukan arah, menggunakan peta dan melihat objek dari berbagai sudut.
- Kecerdasan gerak tubuh/kinestesis. Pada tipe kecerdasan ini banyak dikuasai oleh olahragawan, penari,pemahat maupun dokter bedah.
- Kecerdasan musical. Tipe kecerdasn ini berkembang dengan sangat baik pada musisi, penyanyi dan composer.
- Kecerdasan interpersonal. Tipe kecerdasn ini memudahkan seseorang untuk memahami dan bekerja dengan dirinya sendiri.
- Kecerdasan intrarpersonal. Tipe kecerdasan ini adalah adany kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
- Kecerdasan natural. Tipe kecerdasan ini adalah adanya kemampuan untuk bekerjasama dan menyelaraskan diri dengan alam.
- iKecerdasan spiritual dan kecerdasan eksistensial.
- Mendisiplinkan anak dengan kasih sayang secara bersikap adil.
- Komunikatif dengan anak. Membicarakan hal yang ingin diketahui anak, dengan menjawab pertanyaan anak secara baik, misalkan; membicarakan pendidikan seks dan orangtua penting memberikan pendidikan seks sejak dini.
- Memahami anak dengan segala aktivtasnya, termasuk pergaulannya, (Rifa, 2009)
A.
Konsep keluarga
1.
Pengertian keluarga
Keluarga berasal dari bahasa sansekerta “Kulawarga” . Kata kula
berarti “ras” dan warga yang berarti “anggota”. (Wikipedia) Keluarga adalah
lingkungan dimana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah.
Keluarga sebagai kelompok social terdiri dari sejumlah individu, memiliki
hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu
tersebut.
Khairudin
(2008:4) keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam
masyarakat . secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang
merupakan organisasi terbatas, dan mampunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak
yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan .
Menurut
Departemen Kesehatan RT (1998) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat
yang teridiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan
tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Demikianlah
kita melihat bahwa pengertian keluarga ada yang dikaitkan dengan hubungan darah
dan ada yang dikaitkan dengan hubungan social. Baik keluarga yang didasarkan
pada hubungan darah maupun keluarga yang dikaitkan dengan hubungan social dapat
kita temukan dalam arti luas dan dalam artian sempit.
Menurut
soelaeman (1994:6) arti keluarga dalam hubungan social tampil dalam berbagai
jenis. Ada yang berkaitan dengan wilayah geografis yang menunjukan dimana
mereka berada atau dari mana mereka berasal, ada pula keluarga yang di samping
pengaitan dengan wilayah geografis juga diwarnai pengaitan dengan silsilah atau
keturunan, ada pula yang merujuk kepada golongan masyarakat berkaitan dengan
lingkungan kerja, dan ada pula yang berkaitan dengan pola kehidupan dan
pencaharian.
Dalam arti
luas, keluarga yang berkaitan dengan hubungan meliputi semua pihak yang ada
hubungan darah sehingga sering tampil sebagai arti clan atau marga; dalam
kaitan inilah dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama
keluarga atau marga.
Dalam kehidupan
sehari hari kita temukan pula istilah keluarga itu diartikan sebagai keluarga
besar atau extended family yang disamping ayah-ibu-anak termasuk pula ke
dalamnya paman, bibi , kakek, nenek, cucu, dan sebagainya yang kadang-kadang
dinamai kerabat . sedangkan dalam artian sempit, keluarga yang didasarkan pada
hubungan darah dan terdiri atas ayah-ibu-anak, dijuluki dengan istilah keluarga
inti atau nuclear family. Maksudnya dari persekutuan hidup yang tinggal dan
hidup bersama dalam rumah itu, pasangan suami-istri yang berfungsi dan berperan
sebagai ayah-ibu dan anak yang lahir dari hubungan mereka sebagai suami-istri
yang merupakan inti dari kehidupan tersebut.
2.
Ciri-ciri keluarga
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari
suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal hal yang berkaitan
dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Walaupun dalam menentukan atau
mencari persamaan dan perbedaan pada semua keluarga, terdapat cirri-ciri secara
umum dan khusus yang akan terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun.
a.
Ciri-ciri umum
Ciri-ciri umum seperti yang
dikemukakan oleh Mac Iver dan Page dalam khairudin (2008:6) yaitu :
1)
Keluarga merupakan hubungan
perkawinan;
2)
Berbentuk perkawinan atau
susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja
dibentuk dan dipelihara;
3)
Suatu sistem tata nama,
termasuk bentuk perhitungan garis keturunan;
4)
Ketentuan-ketentuan ekonomi
yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus
terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk
mempunyai keturunan dan membesarkan anak;
5)
Merupakan tempat tinggal
bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi
terpisah terhadap kelompok keluarga.
Burgess dan locke dalam khairudin
(2008:6) mengemukakan empat karakteristik lembaga keluarga, yakni sebagai
berikut:
a)
Keluarga merupakan kesatuan
orang yang diikat malalui jenjang perkawinan untuk melanjutkan fungsi
reproduksi.
b)
Keluarga memiliki anggota
keluarga yaitu suami istri anak atau saudara yang berada dalam satu naungan
rumah tangga.
c)
Anggota keluarga memiliki
peranan social masing-masing sesuai dengan norma yang berlaku.
d)
Keluarga berfungsi untuk
memelihara kebudayaan yang pada prinsipnya berakar dari masyarakat
b.
Ciri-ciri khusus
Menurut khairudin (2008:7) dari
seluruh organisasi, kecil maupun besar yang terdapat didalam masyarakat, tidak
ada yang lebih penting dari keluarga dalam intensitas pengertian sosiologisnya.
Organisasi keluarga ini dalam beberapa hal tidaklah sama dengan asosiasi
lainnya, disamping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu organisasi lazimnya,
keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :
1)
Kebersamaan, diantara
bentuk-bentuk organisasi social yang lain keluarga merupakan bentuk yang paling
universal, yang dapat ditemukan dalam semua masyarakat.
2)
Dasar-dasar emosional, hal ini
didasarkan pada suatu dorongan yang mendasar, seperti perkawinan, menjadi ayah,
dan perhatian orang tua.
3)
Pengaruh perkembangan, halk ini
membentuk karakter individu melalui pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun
mental.
4)
Ukuran yang terbatas, keluarga
di batasi oleh kondisi-kondisi biologis.
5)
Tanggung jawab para
anggota,keluarga memiliki tuntutan yang lebih besar dan kontinu daripada
asosiasi-asosiasi yang lainnya .
6)
Antara kemasyarakatan,
masyarakat diatur oleh peraturan yang sah dan kaku dalam hal yang tahu.
7)
Sifat kekekalah dan
kesementaraannya, keluarga marupakan suatu yang demikian permanen dan universal
dan sebagai asosiasi merupakan organisasi terkelompok disekitar keluarga yang
menuntut perhatian khusus.
3.
Fungsi keluarga
Menurut soalaeman (1994:84) fungsi-fungsi keluarga ada beberapa
jenis. Kita memang dapat membedakannya yang satu dengan yang lainnya, akan
tetapi tidak dapat memisahkannya. Sulit pula untuk disebut jenis fungsi mana
yang paling utama, karena masing masing fungsi keluarga itu sama pentingnya
bagi keutuhan dan kelancaran kehidupan keluarga. Fungsi fungsi keluarga
tersebut adalah :
a.
Fungsi Edukasi
Fungsi Edukasi adalah fungsi keluarga
yang berkaitan dengan pendidikan anak khususnya pendidikan serta pembinaan
anggota keluarga pada umumnya. Fungsi edukasi ini tidak sekedar menyangkut
pelaksanaannya, melainkan menyangkut pula penentuan dan pengukuhan landasar
yang mendasari upaya pendidikan itu, pengarahan dan perumusan tujuan
pendidikan, perencanaan dan pengelolaannya, penyediaan dana dan sarananya,
pengayaan wawasannya dan lain sebagainya yang ada kaitan dengan upaya
pendidikan itu.
Pelaksanaan
fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang
dipukul orang tua. Sebagai salah satu momen dari tripusat pendidikan (istilah
Ki Hajar Dewantara) Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama
bagi anak.
b.
Fungsi sosialisasi
Tugas keluarga dalam mendidik anaknya
tidak saja mencakup pengembangan individu anak agar menjadi pribadi yang
mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi
anggota masyarakat yang baik.
c.
Fungsi Proteksi atau
Perlindungan
Baik fungsi pendidikan maupun fungsi
sosialisasi anak tidak saja melibatkan anak pada saat pelaksanaannya
berlangsung, melainkan menjangkau pula masa depannya. Secara implicit kedua
fungsi tersebut mengandung pengakuan akan adanya fungsi ketiga, yaitu fungsi
proteksi atau perlindungan. Maksud memberikan perlindungan ialah agar anak
merasa terlindungi dengan perkataan lain agar anak merasa aman. Apabila anak
merasa aman, barulah ia dapat dengan bebas melakukan penjelajahan atau
eksplorasi terhadap lingkungannya sebagaimana diharapkan fungsi sosialisasi
anak.
d.
Fungsi Afeksi atau perasaan
dalam keluarga terjadi hubungan sosial antara anak dan orang tua yang didasari
dengan kemesraan. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta
kasih yang menjadi dasar perkawinan, persahabatan, identifikasi dan persamaan
mengenai nilai-nilai.
e.
Fungsi Religius
Keluarga mempunyai fungsi religius.
Artinya keluarga dalam fungsi ini adalah berkewajiban memperkenalkan dan
mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama,dan tugas
kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang
mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia
f.
Fungsi Ekonomis
Keluarga Merupakan suatu kesatuan ekonomis.
Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan
memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk
mencari penghasilan mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sang
istri tak diperbolehkan turut berupaya mencari sumber penghasilan, namun dalam
keadaan demikian tanggung jawab mencari nafkah keluarga tetaplah kepala
keluarga.
g.
Fungsi Rekreasi
Keluarga memerlukan suasana akrab,
ramah dan hangat diantara anggota-anggotanya, dimana hubungan antar anggota
keluarga bersifat saling mempercayai, bebas tanpa beban dan di warnai suasana
santai. Untuk mencapai itu semua, mereka akan lebih senang mencari hiburan
diluar rumah. Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi
ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang
menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara
nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dsb.
h.
Fungsi Biologis
Fungsi biologis adalah fungsi
keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis anggotanya. Salah satunya
adalah kebutuhan akan perlindungan fisik guna kelangsungan hidupnya,
perlindungan kesehatan, perlindungan dari rasa lapar, haus dan kedinginan,
kepuasan bahkan kenyamanan dan kesegaran jasmani, termasuk juga kebutuhan
biologis ialah kebutuhan seksual dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan
yang dapat dipenuhi dengan wajar dan layak sebagai suami istri dalam keluarga .
4.
Peran Keluarga Dalam
Perkembangan Anak
Dinamika kehidupan yang
terus bekembang membawa konsekuensi- konsekuensi tertentu terhadap kehidupan
keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan yang menerpa keluarga beserta dmapak
krisis yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dan pandangan tentang
fungsi dan peran keluarga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan mendasar
tentang kehidupan keluarga, struktur, pola hubungan, dan gaya hidup keluarga
banyak mengalami perubahan. Jika dulu biasanya ayah berperan sebagai pencari
nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola utama kehidupan di rumah, maka
sekarang banyak diantara keluarga (khususnya di kota-kota) yang tidak lagi
seperti itu .
Menurut Gunarsa
(2004) dalam khairudin (2008:78) orang tua mempunyai peran yang sangat penting
dalam menjaga , mengajar , mendidik , serta memberi contoh bimbingan kepada
anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan
tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam
masyarakat.
Keluarga
merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenal kepada anak, atau dapat
dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal kehidupan sosial pertama-tama didalam
lingkungan keluarga. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan
yang lainnya menyebabkan seorang anak menyadari anak dirinya, bahwa ia
berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai
individu ia harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi kelangsungan hidupnya
didunia ini. Sebagai makhluk sosial ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan
bersama yaitu saling tolong menolong dan mempelajari adat istiadat yang berlaku
dalam masyarakat yang dikenalkan oleh orang tuannya, yang akhirnya dimiliki
oleh anak anak tersebut. Sehingga dengan demikian perkembangan seorang anak
didalam keluarga itu sangat ditentukan oleh kondisi situasi keluarga dan
pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orangtuannya. Didalam kehidupan
masyarakat akan kita jumpai bahwa perkembangan anak yang satu dengan yang
lainnya akan berbeda-beda. Peran keluarga terhadap perkembangan anak sangatlah
besar. Oleh sebab itu, keluarga yang didalamnya terdapat orang tua, harus
benar-benar bisa mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
Parke (2004)
dalam santrock (2007:164) Orang tua memiliki peran menjadi manajerial dalam
kehidupan anaknya. Peran manajerial terutama penting dalam perkembangan
sosioemosional anak . sebagai manajer, orang tua boleh mengatur kesempatan anak
untuk melakukan kontak sosial dengan teman sebaya, teman dan orang dewasa.
Orang tua memainkan peran penting dalam membantu perkembangan anak dengan
memulai kontak antara anak dengan teman bermainnya yang potensial .
Hubungan antara
orang tua dan anak dalam keluarga sangat penting artinya bagi perkembangan
kepribadian anak karena orang tua merupakan orang pertama yang dikenal oleh
anak dan melalui orang tua lah anak mendapat kesan-kesan pertama tentang dunia
luar. Orang tua merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak.
Orang tua merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak. Orang tua
akan bereaksi terhadap tingkah laku anak baik itu dengan menerima, menyetujui,
membenarkan, menolak atau melarang. Melalaui pemberian nilai tersebut maka
dalam diri anak akan terbentuk norma-norma tentang apa yang baik atau buruk dan
apa yang boleh atau tidak boleh. Dengan demikian terbentuklah hati nurani anak
yang mengarahkan tingkah laku selanjutnya dan kewajiban orang tua adalah
mengembangkan hati nurani yang kuat dalam diri anak . untuk lebih jelasnya,
dibawah ini akan dijelaskan peran orang tua dalam perkembangan anaknya, peran
ayah dan ibu tersebut adalah .
1)
Peran Ayah
Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga
ayah berperan sebagai kepala keluarga, ia memimpin kehidupan keluarga dan
bertanggung jawab terhadap keseluruhan kehidupan keluarga itu. Pada kaitannya
anak dan keluarga, ayah adalah sebagai pelingdung, salah satu cara yang dapat
ia gunakan sebagai pelindung adalah dengan menciptakan komunikasi antar anggota
keluarg. Ayah yang baik akan berperan sebagai pendengar yang baik bagi anggota
keluarganya khususnya anak, ia akan mendengar setiap pendapat dan usulan yang
diajukan oleh setiap anggota keluarganya, memberikan kebenaran dan penghargaan
akan setiap pendapat yang diajukan tersebut dan jika pandangan anggota keluarga
tersebut salah maka ia akan membimbing atau meluruskannya dengan bijak .
Dalam permulaan kehidupan anak,
kehidupan ayah masih berada di belakang layar dan belum langsung dihayatinya
sebab sehari-hari anak lebih berurusan dengan ibu dalam memenuhi kebutuhan
vitalnya. Baru disaat-saat kemudian ayah akan tampil sebagai lambang wibawa
bagi seluruh anggota keluarga dan berperan sebagai anutan dan arahan sehingga
ia mendapat tempat dihati anak. Secara peran ayah dalam hal pendidikan dan
pengasuhan anak meliputi :
a)
Sumber kekuasaan dalam keluarga
b)
Penghubung intern keluarga
dengan masyarakat atau dunia luar
c)
Pemberi perasaan aman bagi
seluruh anggota keluarga
d)
Perlindung terhadap ancaman
dari luar
e)
Hakim atau yang mengadili jika
terjadi perselisihan
f)
Pendidikan dalam segi-segi
rasional
2)
Peran ibu
Peran ibu berkaitan dengan melahirkan anak dan mendidiknya serta
mengarahkannya kehidupan dewasa, ibu disini berperan sebagai jembatan yang
menghubungkan dunia anak dunia dewasa, menghubungkan anak dengan dunia lain
dengan masyarakat. Sehingga ibu dapat berperan sebagai pengamat sifat dan
perkembangan anak. Selain itu tugas asli dan utama seorang ibu adalah menjadi
ibu rumah tangga. Tugas ibu rumah tanggu bukan hanya memasak dan mengatur
rumah, tetapi lebih penting dari itu ialah mendidik anak-anak baik fisik maupun
mentalnya.
Pendidikan
dirumah merupakan dasar, dan di atas dasar inilah pendidikan selanjutnya
ditegakkan. Jika pendidikan dasar ini tidak kuat atau tidak benar maka
pendidikan selanjutnya akan mempunyai dasar yang tidak kuat, bahkan dasar yang
salah dengan demikian akan muncul anggota masyarakat yang pertumbuhan dan
pendidikannya tidak tepat. Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa
pendidikan dirumah di bawah asuhan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan masa
depan bangsa dan Negara .
Dalam
tumbuh kembang anak ibu sangat berperan penting dalam perkembangannya. Seorang
ibu harus mengetahui dan mengenali tanda-tanda pertumbuhan anak sesuai dengan
fase-fase pertumbuhannya. Karena ibu merupakan tempat yang pertama dan utama
pendidikan yang didapatkan oleh anak sebelum mereka mendapatkan pendidikan di
sekolah.
Banyak
rangsangan atau pendidikan yang dapat ibu lakukan ialah melalui bagaimana ibu
mengasuh anak atau melalui pola pengasuhan anak yang ibu lakukan. Banyak pola
asuh yang dapat di terapkan mulai dari pola asuh yang cenderung otoriter hingga
cenderung membiarkan yang kesemuannya itu berdampak pada kehidupan anak
selanjutnya.
Peran
orang tua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan
anak. Maka, diharapkan orang tua dapat memahami fase-fase perkembangan anak dan
dapat mengimbanginya. Seorang anak perlu melakukan aksi-aksi terhadap
lingkungannya agar dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas
atas setiap pengalamannya. Salah satu tugas orang tua pun adalah member
pengalaman yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu berbagi peranlah dengan
baik antara ayah dan ibu, agar kecerdasan dan perkembangan anak dapat
berkembang dengan baik dan sempurna.
B.
Konsep Pola Asuh Anak
1.
Pengertian pola asuh anak
Menurut kamus besar Bahasa
Indonesia (1999:778) pola asuh berasal dari dua kata yaitu pola dan asuh. Pola
artinya model, sedangkan asuh berarti membimbing, membantu dan melatih. Jadi
pola asuh adalah menjaga ( merawat dan mendidik) anak atau membimbing, membantu
atau melatih supaya yang dibimbing dapat berdiri sendiri.
Baumrind dalam
mualifah (2008:42) berpendapat bahwa “pola asuh pada prinsipnya merupakan
parental control, yaitu bagaimana orang tua mengontrol, membimbing dan
mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju
pada proses pendewasaan”.
Soelaeman
(1994:162) upaya orang tua dalam merealisasikan peran dan fungsi di keluarga
akan menimbulkan berbagai cara orang tua dalam membimbing, mendidik dan
merawat, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik. Cara
orang tua dalam mengasuh anak ialah yang kemudian disebut dengan pola asuh
orang tua.
Sedangkan
menurut khairudin (2008:35) adalah bila ditinjau secara teoritis dalam
pengertian asuhan terkandung hubungan interaksi antara orang tua dengan anak
dan hubungan tersebut adalah memberikan pengarahan dari satu pihak ke pihak
lain, pengertian di atas pada dasarnya merupakan proses sosialisasi yang
diberikan orang tua kepada anaknya.
Pengertian
diatas dijelaskan bahwa hubungan interkasi orang tua dengan anak secara umum
tercakup oleh adanya perlakuan orang tua terhadap sikap, nilai-nilai minatnya mengasuh
anak, hal ini memperlihatkan bahwa setiap orang tua memiliki individualitas
dalam cara mengasuh anak mereka dan tentunya hal ini memberikan pengaruh yang
berbeda-beda bagi perkembangan anak.
Dari beberapa
pengertian diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola asuh orang
tua yaitu suatu cara atau upaya perlakuan orang tua dalam membimbing, mendidik,
merawat dan beriteraksi dengan anaknya, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat
berkembang dengan baik .
2.
Jenis Pola Asuh Anak
Keluarga merupakan wahana pertama dan utama
bagi pendidikan pola asuh anak, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua
kepada anaknya juga menentukan keberhasilan perkembangan anak. Kesalahan dalam
pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam perkembangan
anak yang baik. Kegagalan keluarga dalam membentuk perkembangan anak yang baik
akan berakibat buruknya masa depan anak. Oleh karena itu, setiap keluarga harus
memiliki kesadaran bahwa pola asuh sangat tergantung pada pendidikan pola asuh
anak-anak mereka dalam keluarga .
Menurut Baumrind dalam Santrock (2007:
167), psikolog pada umumnya sejutu membagi pola asuh orang tua ini kedalam
jenis pola asuh ini, yaitu :
a.
Authoritarian parenting adalah
gaya yang membatasi dan menghukum dimana orang tua mendesak anak untuk
mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua
yang otorier menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan
meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter mungkin juga sering
memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan
menunjukan amarah pada anak. Anak yang dari orang tua yang otoriter sering kali
tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain,
tidak mampu memulai aktivitas dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah.
b.
Authoritative parenting adalah
gaya orang tua mendorong orang tua untuk mandiri namun masih menerapkan batas
dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal member dan menerima dimungkinkan,
dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadsap anak.orang tua yang
otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku
kontuktip anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa. Mandiri,
dan sesuai dengan usia mereka. Anak yang memiliki orang tua yang otoratip
sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan beroreantisi pada prestasi, mereka cenderung untuk
mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan
orang dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik.
c.
permissive indifferent atau pengasuhan yang
mengabaikan adalah gaya di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Anak memiliki orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini
cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di antartanya mimiliki
pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki
diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa
remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.
d.
Permissive indulgent atau
mengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan dimana orang tua sangat
terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka.
Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya,
anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap
mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka
dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang
hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya
diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang
belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan
perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan
kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya.
Masih menurut baumrind (Papalia, 2001:300) menyatakan bahwa model
pola asuh yang biasa diterapkan kepada anak adalah :
a.
Authoritarian, dalam pola asuh ini
orang tua mencoba untuk membuat anak-anaknya memenuhi standar dari perilakunya,
kewenangannya untuk menghukum dan penuh ketegasan. Mereka lebih objektif dan
kurang hangat dari orang tua lainnya.
b.
Permissive, dalam pola asuh ini
orang tua serba membolehkan, mandiri, selfexpression dan selfregulation. Para
orang tua lebih mempertimbangkan pada kemampuan sumbernya, bukan pada modelnya.
Mereka pada umumnya membuat beberapa permintaan dan membolehkan anak-anak untuk
dapat memonitor kegiatan orang tua sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat
peraturan, mereka menjelaskan alas an mereka. Mereka juga membicarakannya
dengan anak-anak mengenai keputusan dari kebijaksanaannya dan jarang menghukum.
Mereka bersahabat tidak mengawasi dan tidak memaksa.
c.
Authoritative, dalam pola asuh ini orang
tua menghargai kepribadian anak-anaknya tetapi juga menitik beratkan pada
pemaksaan. Mereka percaya pada kemampuannya untuk menuntun anak-anaknya tetapi
mereka juga menghargai keputusan yang mandiri dari anak-anaknya, mintanya, pilihannya
dan kepribadiannya. Mereka penyayang dan penerima tetapi juga meminta
anak-anaknya berperilaku baik dan mereka tetap mempertahankan standarnya dan
mereka sudi untuk menentukan batasannya. Mereka juga menghukum dengan
bijaksana, kadang-kadang juga suka menampar jika perlu tanpa kompromi, tetapi
kemudian menjelaskan alasannya di balik perilaku dan desakan member dan
menerima.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pola asuh
Pola asuh yang di terapkan orang tua di pengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu: budaya, agama, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jumlah
anggota keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, dan lain sebagainya.
Sesuai dengan yang di ungkapkan Maccoby (1980:76) bahwa faktor yang
mempengaruhi pola asuh yaitu:
a.
Status sosial ekonomi keluarga
Keluarga yang memiliki tingkat stress
yang tinggi sehingga orang tua biasanya menitikberatkan pada kepatuhan. Mereka
hanya menerapkan hukuman fisik tanpa memberikan pengertian kepada anak. Pola
asuh yang diterapkan cenderung bersifat authoritarian.
Sedangkan keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi cenderung bersifat authoritative. Orang tua cenderung
menunjukan kehangatan dan kasih sayang yang lebih .
b.
Pekerjaan orang tua
Jenis pekerjaan tidak langsung
mempengaruhi bentuk pola asuh orang tua. Jenis pekerjaan biasanya sangat
berhubungan dengan tingkat pendidikan. Hasil penelitian nuraeni (2006)
menunjukan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan tinggi umumnya mengetahui
bagaimana perkembangan anak dan pengasuhan yang baik dalam perkembangan tersebut.
Sedangkan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, orang tua
kurang memperhatikan perkembangan anak karena orang tua masih awam dan kurang
mengetahui perkembangan anak.
Keluarga yang berasal dari status
sosial yang lebih tinggi biasanya menggunakan penalaran dan perundingan yang
bergantung pada keterampilan yang dimiliki. Orang tua lebih sering berdiskusi
dengan anaknya dari pada memberikan hukuman fisik.
c.
Ukuran keluarga
Keluarga besar yang terdiri dari
banyak anggota keluarga cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan anaknya.
Mereka lebih bersifat membebaskan anaknya dalam berperilaku. Namun tidak jarang
pula mereka memberikan hukuman fisik tanpa alas an kepada anak.
d.
Pendidikan ibu
Peran ibu sangat penting dalam
pengasuhan anak. Ibu yang dibekali pendidikan yang rendah cenderung memiliki
ketegangan yang lebih tinggi. Ia kurang diberkali dengan ilmu pengetahuan dan
kurang memiliki kesempatan untuk mendapat informasi-informasi penting mengenai
kehidupan. Ini sangat berpengaruh terhadap harga dirinya, cara-cara ibu
berkomunikasi dan berpikir, dan cara ibu dalam mengatasi masalah. Ibu biasanya
membebaskan anak untuk memutuskan sesuatu.
4.
Dimensi-dimensi pola asuh
Dimensi-dimensi pola asuh
orang tua terhadap anaknya terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi control
dan dimensi kehangatan (Baumrind dalam Santrock, 2007:259). Menurut Baumrind
(Chodijah, 2009:31) kedua dimensi pola asuh orang tua tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Dimensi Kontrol
(demandingness). Dimensi ini berhubungan dengan sejauhmana orang tua
mengharapkan dan menuntut kematangan serta tingkah laku yang bertanggungjawab
dari anak. Dalam kehidupan sehari-hari ada orang tua yang menuntut dan berharap
banyak dari anak, selain itu ada pula yang bersifat permisif dan kurang
menuntut. Pengertian control mencakup:
1)
Demandingness/tuntutan, dapat
dikatakan bahwa tuntutan adalah tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh anak.
Tujuan yang dimaksud orangtua dapat bermacam-macam antara lain ada orang tua
yang mengharapkan anaknya membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, menuntut anak
untuk cepat beradaptasi dimanapun ia berada.
2)
Restrictiveness/pembatasan-pembatasan,
keadaan ini ditandai dengan banyaknya larangan yang dikenakan kepada anak.
Orangtua cenderung melakukan pembatasan/kekangan terhadap aktivitas anak tanpa
disertai penjelasan yang memadai mengapa
hal tersebut tidak boleh dan bagaimana sebaiknya itu dilakukan.
3)
Instrusivness/campur tangan,
instrusivness disini memperlihatkan suatu keadaan dimana orang tua melakukan
intervensi terhadap anak dalam semua aktivitas anak. Campur tangan tersebut
menyebabkan anak kurang dapat mengembangkan self of control, yaitu kesadaran
bahwa dirinya mempunyai control sehingga dapat mempengaruhi apa yang terjadi
pada dirinya dan sekelilingnya. Dengan demikian anak memperlihatkan sikap tidak
berdaya berupa sikap pasif, kurang inisiatif, kehilangan motivasi. Sebaliknya
anak yang memiliki sense of control yang bagus akan merasa bahwa ia dapat
mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuan sehingga ia akan lebih
aktif, mandiri dan memiliki inisiatif.
4)
Strictneass/keketatan,
dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan tegas, dengan tujuan agar
anak mematuhi dan memenuhi semua aturan dan tuntutan yang diberikan orang tua.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sikap ketat yang dilakukan secara
konsisten mempunyai korelasi positif dengan kemampuan mengendalikan impuls
agresif, memiliki control diri yang kuat, implusif. Medinus dalam Chodijah
(2009:32) menekankan bahwa “displin yang ditekankan secara keras tidak
konsisten dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentiment, kekerasan dan kecemasan
pada anak”.
5)
Arbitrary exercise of
power/penggunaan kekuasaan sewenang-wenang orangtua yang menggunakan kekuasaan
sewenang-wenang memiliki control yang tinggi dalam mengakkan aturan-aturan dan
pembatasa-pembatasan. Orang tua mungkin akan menggunakan hukuman bila perilaku
anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum anak, orang tua tidak
memberikan penjelasan-penjelasan.
b.
Dimensi Kehangatan
(responsiveness). Dimensi ini berhubungan dengan tingkat respon orang tua
terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dalam penerimaan dan dukungan. Ada yang
hangat menerima, ada pula yang tidak responsive dan menolak (steinberg dalam
triani, 2003). Orang tua yang responsive adalah orang tua yang hangat. Menerima
keadaan diri anak dapa diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa
mengharapkan imbalan. Orangtua yang menerima anak, memiliki perhatian besar
terhadap anak serta memberikan kasih sayang. Orang tua juga memberikan
fasilitas-fasilitas untuk mengembangkan kemampuan serta minat anak. Ciri lain
yang menunjukan adanya kehangatan yaitu :
1)
Bersedia meluangkan waktu agar
bisa bekerjasama dalam suatu kegiatan
2)
Cepat tanggap terhadap
kebutuhan-kebutuhan anak
3)
Orang tua yang memperhatikan
kesejahteraan anak
4)
Peka terhadap keadaan emosi
anak
5)
Siap untuk menanggapi kecakapan/keberhasilan
anak serta menunjukan cinta kasihnya.
Tentang kehangatan, Maccoby dalam Chodijah (2009:33), mengatakan
lebih lanjut bahwa kehangatan merupakan aspek penting dalam pengasuhan anak,
karena dapat menciptakan suasana yang menyenangkan akan dalam kehidupan
keluarga. Kehangatan yang diberikan keluarga pada anaknya akan menghasilkan
anak yang mudah untuk di didik.
Dimensi-dimensi pola
asuh tersebut dapat didukung dengan bagaimana upaya pola asuh yang dilakukan
oleh orang tua dalam mendidik anak. Menurut Abdullah Nashish Ulwan (1981:174)
mengemukakan cara mendidik yang influentif terhadap anak, yaitu :
a.
Pendidikan dengan keteladanan,
merupakan cara yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan
membentuk anak didalam moral spiritual dan sosial dimana cara ini menitik
beratkan kepada pendidikan agar anak akan meniru segala tindak tanduk orang tua
untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari .
b.
Pembiasaan, merupakan cara yang
diterapkan dengan adanya suatu pengajaran dan pembiasaan sehingga anak berada
dalam pembentukan edukatif dan sampai pada hasil-hasil yang memuaskan, karena
semuanya bersandar pada cara memperhatikan dan mengawasi berdasarkan bujukan
dan ancaman yang bertitik tolak dari bimbingan dan pengajaran.
c.
Pemberian nasehat, dimana dalam
penerapannya orang tua dapat memperjelas dibantu dengan penggunaan,
perumapamaan, gambaran dan contoh disamping segala apa yang bisa disaksikan
oleh khalayak dengan mata kepalanya sendiri yaitu dengan peristiwa-peristiwa
yang berada dalam jangkauan mereka sehingga lebih berbekas, mudah dipahami,
lebih melekat di akat.
d.
Pengahargaan dan hukuman,
merupakan cara mencurahkan perhatian dan pemberian hukuman kepada anak ketika
berbuat salah dan senantiasa mengikuti pekembangan anak. Dengan adanya pemberian
penghargaan dan pemberian hukuman sebagai bagian dari upaya pelaksanaan
pendidikan di keluarga.
C.
Konsep Perkembangan Sosial
Emosional Anak Usia Dini
Perkembangan merupakan istilah umum
yang mencakup pada kemajuan dan kemunduran yang terjadi hingga akhir hayat.
Pertumbuhan merupakan aspek structural dari perkembangan. Sedangkan kematangan
berkaitan dengan perubahan fungsi pada perkembangan. Perkembangan meliputi
aspek dari perilaku manusi, dan sebagai hasil hanya dapat dipisahkan kedalam
periode usia. Dukungan perumbuhan terhadap perkembangan sepanjang hayat
merupakan sesuatu yang berarti, oleh karena itu perkembangan sosial emosional
perlu dikembangkan sejak dini.
1.
Perkembangan sosial
Sosial dapat diartikan sebagai suatu
kondisi individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang dilakukan
meliputi lingkup yang luas seperti dengan teman, orang dewasa, komunitas
masyarakat dan sebagainya. Interaksi sosial membutuhkan upaya penyesuaian diri
individu dengan lingkungan atau masyarakat yang digaulinya, individu yang
tertolak atau terisolasi biasanya disebabkan adanya ketidaksesuaian norma atau
perilaku yang ditampakan oleh individu tersebut.
Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-122), perkembangan sosial emosional
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan
sebagai proses untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan
tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan
bekerjasama.
Selanjutnya
menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-125), perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh
lungkungan sosialnya, baik orang tua, anak keluarga, orang dewasa lainnya atau
teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau
memberikan keperluan terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan
dapat mencapai perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai
perkembangan sosialnya secara matang. Namun apabila lingkungan sosial itu
kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua kasar sering memarahi, acuh tak
acuh, tidak memberikan bimbingan, teledan, pengajaran atau pembiasaan terhadap
anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi pekerti,
cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat minder, (2)
senang mendominasi orang lain, (3) bersifat egois, (4) senang mengisolasi diri,
(5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan (6) kurang memperdulikan norma
dalam perilaku.
Sebagai seorang anak akan
mengekplorasi dan membangun hubungan pertemanan dengan teman sebayanya, hal
tersebut akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mengembangkan
interaksi dan pengertian tentang orang lain. Piaget (1932) dalam bahan ajar
diklat tenaga pendidikan PAUD Nonformal Tingkat Dasar menemukan bahwa interaksi
teman sebaya sebagai satu sumber kognitif utama juga sebagai perkembangan
sosial, terutama sekali untuk perkembangan bermain peran dan empati. Dalam
konteks sekolah, tetangga, dan rumah, anak-anak belajar untuk membedakan antar
tipe-tipe perhubungan teman sebaya yang berbeda, teman-teman baik, teman-teman
sosial, pasangan-pasangan beraktivitas, kenalan, dan orang-orang asing. Melalui
pembangunan dan mempertahankan perhubungan teman sebaya dan
pengalaman-pengalaman sosial yang berbeda-beda tipenya, khususnya konflik teman
sebaya, anak-anak memperoleh pengetahuan tentang dirinya dan orang lain.
Interaksi teman sebaya yang berbeda umur juga memberikan sumbangan untuk
perkembangan sosial kognitif dan bahasa anak-anak yang lebih muda sambil
meningkatkan kemampuan-kemampuan berinstruksi bagi anak-anak yang lebih tua
(Hartup,1983, dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal Tingkat
Dasar ).
2.
Perkembangan Emosional
Emosi Menggambarkan Tentang bagaimana
perasaan individu tentang dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya.
Perasaan yang muncul biasanya disertai dengan perubahan fisik seperti tubuh
yang menegang, gemetar, menggigil, aliran darah yang cepat, begitu juga dengan
raut muka yang juga turut mengalami perubahan.
Menurut
Syamsu Yusuf LN., (2005-115), emosi merupakan warna afektif yang menyertai
setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif adalah
perasaan-perasaann tertentu yang dialami pada saat menghadapi suatu situasi
tertentu, seperti gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang),
dan perasaan yang lainnya.
Perkembangan
emosi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial walaupun masing-masing
ada kekhususannya. Yang berkaitan dengan emosi adalah perhatian, pujian, kasih
sayang dan lain-lain. Sedangkan aspek sosial adalah interaksi yang lancar
antara guru dan anak. Sudono, anggani, MA (1999-54)
3.
Tujuan Perkembangan Sosial
Emosional
Menurut Anggani Sudono, MA (1999-55),
Faktor sosial dan emosi merupakan kepribadian dan pembiasaan yang dapat
membentuk:
a.
Kemandirian, yaitu mengurus
diri sendiri, seperti: mandi, berpakaian,menyikat gigi, mengurus barang-barang
milik sendiril;
b.
Kebiasaan menghargai orang
lain, milik orang lain dan pendapat orang lain;
c.
Rasa tanggungjawab, yaitu mampu
menyelesaikan tugas yang harus diselesaikanl
d.
Kemampuan bekerjasama;
e.
Kemampuan mengungkapkan diri.
4. Ciri-ciri perkembangan Sosial Emosional
4. Ciri-ciri perkembangan Sosial Emosional
Perkembangan anak dari hari ke hari
sangat menakjubkan. Dari bayi lemah yang menggantungkan seluruh hidupnya kepada
orang tua, menjadi anak kecil yang pintar berbicara, senang bergelut dan pandai
menghitung matematika. Tetapi itu semua tidak terlepas dari pembelajaran orang
orang yang ada di sekitarnya, seperti orang tua yang sangat berperan dalam
membantu perkembangan sosial emosional anak. Sejak dini, anak perlu diberikan
arahan dan bimbingan oleh orang dewasa, salah satunya belajar melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan sosial-emosional anak. Karena dengan kegiatan
itu anak lebih mandiri dan percaya diri .
Berdasarkan
peraturan menteri pendidikan Nasional No 58 tahun 2009 tentang standar
pendidikan anak usia dini, disebutkan ciri-ciri perkembangan sosial-emosional
anak usia 4-5 tahun sebagai berikut :
a.
Menunjukan sikap mandiri dalam
memilih kegiatan
b.
Mau berbagi, menolong dan
membantu teman
c.
Menunjukan antusiasme dalam
melakukan permainan kompetitif secara positif
d.
Mengendalikan perasaan
e.
Menaati peraturan yang berlaku
dalam suatu permainan.
f.
Menunjukan rasa percaya diri
g.
Menjaga diri sendiri dari
lingkungannya
h.
Menghargai orang lain
5.
Faktor yang mempengaruhi
perkembangan sosial emosional anak usia dini
Menurut Aan Listiana(2009) dalam
dalam bahan Ajar Diklat Tenaga pendidikan PAUD Nonformal tingkat dasar memahami
anak usia dini, seperti halnya perkembangan belajar dan berkomunikasi,
perkembangan sosial emosional sangat banyak dipengaruhi beberapa factor, yaitu
:
a.
Kondisi orang tua merupakan
factor yang dominan dalam mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak.
Beberapa studi menunjukan adanya pengaruh yang signifikan antara perasaan
(mood) orang tua terhadap perkembangan perilaku anak. Kesimpulan penelitian
tersebut menyatakan bahwa orang tua yang depresi merupakan indikasi dan dapat
menjadi salah satu prediksi penting terhadap rendahnya kemampuan sosial dan
afeksi anak. Mengingat faktor kondisi orang tua yang dapat menjadi penyebab
rendahnya kemampuan sosial emosional anak maka tutor atau orang tua kemungkinan
sudah dapat memprediksikan dan mengukur tingkat kemampuan sosial emosional anak
melalui perilaku atau kondisi sosial emosional orang tuanya. Kondisi demikian
mengakibatkan penanganan terhadap perilaku menantang yang di tampilkan anak
tidak hanya bagaimana membantu orang tua bersikap dan berperilaku. Beberapa
faktor orang tua yang dapat menyebabkan gangguan sosial emosional pada anak
adalah orang tua yang depresi, pengabian, dan IQ yang rendah.
1)
Orang tua yang depresi biasanya
menampilkan perilaku-perilaku yang bermasalah, seperti mudah marah, panik,
cemas yang berlebihan, murung, dan perasaan sedih yang mendalam. Kondisi
tersebut akan mempengaruhi pada hubungan sosial emosional anak. Anak yang
memiliki sifat meniru dan belajar dari kondisi lingkungan sekitarnya akan
mengadopsi perilaku-perilaku tersebut. Perilaku-perilaku negatif yang di
tampilkan anak akan mendapat respon yang negatif yang akan berakibat pada
penolakan dan isolasi dari lingkungan sekitarnya. Pada kebanyakan anak-anak
pengalaman seperti respon orang tua, stabilitas situasi pengasuhan akan berpengaruh
terhadap pengalaman emosional anak. Lingkungan di sekitar anak yang penuh
dengan kehangatan dan situmulasi yang positif akan dapat mengembangkan
kompetensi emosional dan kognitif anak. Sebaliknya anak yang proses
perkembangan emosionalnya tidak lancar akan beresiko pada kekurangan kognitif,
sosial dan perilakunya.
2)
Sikap pengabaian orang tua
terhadap anak biasanya adalah anak-anak yang tidak dikehendaki juga dapat
menyebabkan rendahnya kemampuan sosial dan afeksi anak. Hal tersebut terjadi
dikarenakan anak terbiasa mendapatkan reaksi negatif, tidak dihiraukan
keberadaannya, dan tidak terpenuhinya kasih sayang dari orang tuanya. Akibatnya
anak kurang memperoleh pengetahuan tentang bagaimana menampilkan sikap positif
yang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.
3)
Faktor lainnya adalah IQ orang
tua yang rendah dapat juga mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak.
Selain
faktor kondisi orang tua, faktor lingkungan keluarga dan masyarakat juga
merupakan faktor yang banyak mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak.
b.
Faktor lingkungan keluarga
diantaranya adalah intimidasi atau kekerasan, ketidak berfungisnya keluarga,
dan anggota keluarga yang beasar.
c.
Faktor lingkungan masyarakat
diantaranya adalah isolasi sosial emosional anak. Masalah yang bersumber dari
luar berupa kurangnya pengertian atau dukungan yang diberikan pada anak dan
juga sikap permusuhan dari lingkungan keluarga dan masyarakat dapat pula
menyebabkan masalah yang signifikan pada perkembangan sosial emosional anak.
d.
Faktor dari dalam diri anak itu
sendiri. Faktor prenatal seperti berat lahir yang rendah, premature, viral
infection, penyakit yang kompleks selama dalam kandungan, serta hernia
merupakan factor-factor dari diri anak yang dapat mempengaruhi perkembangan
sosial emosionalnya.
Pengertian
Sosial Emosional
Yusuf (2007:122)
menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam
hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan
tradisi, meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan
kerjasama.
Fanken (1993) dalam Baihaqi dkk (2005:105) menjelaskan bahwa emosi merupakan hasil informasi antara faktor subjektif (proses kognitif), faktor lingkungan (hasil belajar) dan faktor biologi (proses hormonal).
Departement of Health, Education and Welfare USA (1969) dalam Schloss (1984:3) dalam Deplhie (2005:33) menyebutkan faktor sosioemosional yang menyebabkan anak sulit menyesuaikan diri meliputi: perasaan takut, perasaan ketidakpuasan disebabkan orang lain, agresi, dan sikap negatif terhadap suatu kemenangan.
Giblin(1981) keseimbangan pada teori perkembangan emosional Giblin berdasarkan pada perbedaan antara perasaan dan emosi. Giblin percaya bahwa ada lima tahapan dalam perkembangan emosi:
1) Dari 0 sampai 8 bulan ada ketidakseimbangan dari sensorik respons atau sensasi yang intens ; penyesuaian refleksif mengikuti, ekspresi mewakili kesenangan /ketidaksenangan dan istirahat / ketegangan.
Fanken (1993) dalam Baihaqi dkk (2005:105) menjelaskan bahwa emosi merupakan hasil informasi antara faktor subjektif (proses kognitif), faktor lingkungan (hasil belajar) dan faktor biologi (proses hormonal).
Departement of Health, Education and Welfare USA (1969) dalam Schloss (1984:3) dalam Deplhie (2005:33) menyebutkan faktor sosioemosional yang menyebabkan anak sulit menyesuaikan diri meliputi: perasaan takut, perasaan ketidakpuasan disebabkan orang lain, agresi, dan sikap negatif terhadap suatu kemenangan.
Giblin(1981) keseimbangan pada teori perkembangan emosional Giblin berdasarkan pada perbedaan antara perasaan dan emosi. Giblin percaya bahwa ada lima tahapan dalam perkembangan emosi:
1) Dari 0 sampai 8 bulan ada ketidakseimbangan dari sensorik respons atau sensasi yang intens ; penyesuaian refleksif mengikuti, ekspresi mewakili kesenangan /ketidaksenangan dan istirahat / ketegangan.
Sosioemosional
adalah perubahan yang terjadi pada diri setiap individu dalam warna afektif
yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu.Dalam pembahasan
sosio-emosional ini lebih ditekankan dalam sosio-emosional pada remaja.
2) Dari 9 sampai 12 bulan ada juga mengembangkan ketidakseimbangan yang dibawa oleh ada atau tidak adanya orang lain. Kesetimbangan dicapai oleh interaksi, dan di respon oleh tanggapan yang lebih terorganisir.
3) Dari 2 sampai 6 tahun, ketidakseimbangan disebabkan secara langsung dan tidak langsung oleh rangsangan dan kesetimbangan kembali melalui keterampilan representasional dan keterampilan emosional
Metode
dan Teknik Pengumpulan Data2) Dari 9 sampai 12 bulan ada juga mengembangkan ketidakseimbangan yang dibawa oleh ada atau tidak adanya orang lain. Kesetimbangan dicapai oleh interaksi, dan di respon oleh tanggapan yang lebih terorganisir.
3) Dari 2 sampai 6 tahun, ketidakseimbangan disebabkan secara langsung dan tidak langsung oleh rangsangan dan kesetimbangan kembali melalui keterampilan representasional dan keterampilan emosional
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian pengumpulan data. Urutan
atau cara penelitian yang dilakukan oleh penulis antara lain adalah sebagai
berikut:
1.
Observasi
Observasi
dilakukan menggunakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Penulis
meneliti dengan cara mendatangi langsung lokasi yaitu Desa Pagerwangi
2.
Interview
Interview
dilakukan dengan cara mendatangi dan wawancara dengan pihak yang bersangkutan,
agar memperoleh data yang diperlukan untuk masalah yang akan dibahas. Interview
juga dilakukan dengan mendatangi secara langsung beberapa keluarga yang
terkait.
3.
Wawancara
Wawancara
dilakukan dengan cara berinteraksi secara langsung dengan keluarga yang
bersangkutan dan pihak yang terkait.
Populasi
dan Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pagerwangi Kecamatan
Lembang di Rw 04 dengan jumlah kepala keluarga 137. Hampir 70 % kepala keluarga
adalah pekerja baik sebagai buruh, wirausaha dan pembantu rumah tangga.
HASIL
a. Gambaran Umum Keluarga
Bapak Alo memiliki latar belakang
pendidikan SMU sedangkan istrinya, ibu Ida memiliki latar belakang pendidikan
lulusan SMU, yang dikarenakan kondisi keluarga mereka kurang mampu untuk
melanjutkan sekolah ketingkat selanjutnya. Bapak dan ibu X sudah menjalin kehidupan
keluarganya selama 26 tahun serta dikaruniai anak 1 orang anak laki-laki bernama
Yogi yang berusia 23 tahun.
Hubungan
yang ada didalam keluarga X memiliki kondisi yang rukun dan mereka tinggal
bertiga yang terdiri dari bapak-ibu-anak. Tetapi karena rumah orangtua ibu X
ada disamping mereka, sehingga mereka lebih sering berkumpul bersama di rumah
orangtua dari ibu X.
Latar
belakang keluarga orangtua X adalah keluarga petani, sehingga mereka lebih
memilih untuk mencari pekerjaan yang lainnya. Orangtua X memiliki lahan
pertanian sendiri yang terdiri dari kebun tomat, cabai, kembang kol dan labu
siam. Setiap harinya orangtua X bekerja dari pagi hari sampai dengan sore hari,
terkadang bapak X pula malam dikarenakan harus kembali menjaga kebun miliknya,
jika kebunnya tidak dijaga maka akan ada yang mencuri hasil kebun bapak X.
Setiap
harinya bapak dan ibu X berangkat kerja dari pagi pukul 06.30 sampai dengan
sore hari pukul 16.30, tetapi terkadang bapak dan ibu pulang kerumah ketika
waktu dzuhur untuk beristirahat, kemudian berangkat kembali ke kebun untuk
melanjutkan pekerjaannya. Walaupun demikian, pada saat mereka pulang untuk
istirahat, mereka menyempatkan diri untuk bertemu sebentar dengan anak-anaknya.
Sebagian
besar waktu keluarga X digunakan untuk bekerja, sehingga menyebabkan kurangnya
interaksi orangtua X dengan anak X. tetapi mereka tidak lupa untuk tetap
berkomunikasi dengan anak walaupun hanya sebentar, karena dengan demikian
mereka dapat mempertahankan kondisi keluarga mereka dengan utuh. Bapak X yang
hanya dapat bertemu dengan anaknya disaat istirahat siang, dan ibu X yang hanya
dapat bertemu dengan anaknya sebelum berangkat bekerja, tidak menjadikan
hubungan orangtua dan anak menjadi renggang, karena orangtua X masih peduli
terhadap anaknya.
Walaupun
pekerjaan itu penting untuk kehidupan mereka, tetapi tetap memprioritaskan
keluarga dan anak, karena keluarga adalah harta yang paling berharga
dibandingkan dengan pekerjaan yang mereka miliki. Kebiasaan bersama yang sering
dilakukan oleh keluarga X untuk mempererat hubungan keluarga/kominikasi didalam
keluarga adalah ketika makan dan nonton tv bersama di ruang keluarga, jika
orangtua keluarga X sedang tidak ada aktivitas.
b.
Pemahaman orangtua mengenai
pola asuh anak untuk mengembangkan sosial emosional anak.
Setelah melakukan wawancara dan
observasi langsung terhadap keluarga X dalam mengungkapkan bagaimana
pengetahuan orangtua mengenai pola asuh anak untuk mengembangkan perkembangan
sosial emosional anak. Keluarga X menjelaskan bahwa mereka belum terlalu
mengerti tentang apa itu pola asuh dan perkembangan sosial emosional anak.
Mereka hanya mengetahui bahwa pola asuh itu adalah cara mengasuh anak agar
menjadi anak yang baik. Tetapi mereka tidak tahu pengertian dari pola asuh,
jenis-jenis pola asuh maupun dimensi dari pola asuh. Padahal kesemuannya itu
selalu dilakukan oleh mereka setiap hari. Mereka juga tidak pernah membaca buku
ataupun penyuluhan tentang pola asuh dan perkembangan anak. Walaupun di dekat
rumahnya terdapat posyandu, tetapi tidak pernah ada kegiatan penyuluhan tentang
pola asuh dan perkembangan anak dari desa, dan memang karena tidak adanya waktu
untuk mengikutinya, hal itu dikarenakan waktunya digunakan untuk bekerja.
Begitupun dengan pengetahuan tentang
perkembangan sosial emosional anak, mereka hanya mengetahui bahwa perkembangan
itu adalah perkembangan tentang emosi yang dimiliki oleh anak saja. Mereka
tidak mengetahui bagaimana tahapan perkembangan sosial emosional anak yang
seharusnya. Yang terpenting adalah selama anak mereka masih berkelakuan baik
dan tidak melakukan hal yang buruk, maka mereka masih bisa hidup dengan baik.
karena mereka tidak mengetahui bagaimana perkembangan sosial emosional anak, merekapun tidak mengetahui bagaimana cara untuk mengembangkan sosial emosional yang dimiliki oleh anak mereka. Mereka hanya beranggapan, bahwa dengan mereka percaya kepada anak mereka yang akan selalu berbuat baik, mereka sudah dapat mengetahui bahwa anak mereka dalam kondisi yang baik. Jika ada kasus atau kejadian tentang perkembangan sosial emosional anak yang tidak sesuai dengan tahapannya, mereka hanya bisa menasehatinya dan menanyakan kenapa hal itu bisa terjadi, dengan begitu mereka menganggap sudah membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya
c. pola asuh yang diterapkan oleh orangtua
karena mereka tidak mengetahui bagaimana perkembangan sosial emosional anak, merekapun tidak mengetahui bagaimana cara untuk mengembangkan sosial emosional yang dimiliki oleh anak mereka. Mereka hanya beranggapan, bahwa dengan mereka percaya kepada anak mereka yang akan selalu berbuat baik, mereka sudah dapat mengetahui bahwa anak mereka dalam kondisi yang baik. Jika ada kasus atau kejadian tentang perkembangan sosial emosional anak yang tidak sesuai dengan tahapannya, mereka hanya bisa menasehatinya dan menanyakan kenapa hal itu bisa terjadi, dengan begitu mereka menganggap sudah membantu anak dalam menyelesaikan masalahnya
c. pola asuh yang diterapkan oleh orangtua
setelah melakukan wawancara langsung
dengan keluarga X pola asuh yang diterapkan oleh keluarga X kepada anaknya,
menjelaskan bahwa mereka tidak mengetahui jenis pola asuh apa yang mereka
terapkan kepada anak-anak mereka. Mereka memberikan kasih sayangnya dengan memenuhi
keinginan anak, karena hal itulah yang bisa mereka berikan ketika mereka tidak
bersama anaknya. Bapak dan ibu menjelaskan, bahwa secara tidak langsung mereka
menggunakan cara orang tua mereka mendidik/pola asuh mereka ketika masih kecil
kepada anak mereka. Karena didikan ortangtua tersebut sudah melekat pada diri
mereka, maka merekapun secara tidak sabar telah menerapkannya kepada anak-anak
mereka. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga adalah semua nilai
kehidupan, khusunya adalah nilai agama dan nilai sosial. Tujuan dari
diterapkannya nilai-nilai tersebut adalah agar anak dapat menjalani kehidupanya
dan bisa membedakan mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak baik
dilakukan. Karena nilai tersebut adalah nilai yang penting dalam kehidupan manusia.
Dalam pemberian nilai tersebut, bapak dan ibu memberikan contoh dengan perilaku
mereka kepada anak, karena dengan begitu anak akan mengikuti apa yang mereka
lakukan.
Pada kesehariannya, jika anak melakukan sesuatu hal yang baik, maka
bapak dan ibu X selalu memuji mereka
dengan pujian dan doa yang baik untuk mereka. Contohnya jika anak mendapatkan
prestasi yang baik didalalam sekolah ataupun diluar sekolah, bapak dan ibu
selalu memujinya dan mendoakan semoga dia bisa menjadi anak yang pintar dan sholeh.
Tetapi jika anak berbuat suatu kesalahan, bapak dan ibu X suka memarahi mereka
dan langsung menasehati mereka bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan, atau
dengan memberikan hukuman uang jajan mereka akan dikurangi ataupun tidak boleh
bermain lagi selama dia menyadari bahwa dia berbuat salah.
Pekerjaan
bapak dan ibu X memakan waktu yang sangat lama, sehingga intensitas mereka
bertemu dan berkomunikasi dengan anak sangatlah kurang,mereka hanya bisa
bertemu pada saat sebelum berangkat kerja dan ketika anak sudah lelah bermain
diluar rumah. Jika dihitung, mereka hanya bisa bertemu dengan anaknya hanya +3
jam saja. Walaupun begitu, rasa kangen anak kepada orangtuanya tidak berkurang.
Ketika mereka kumpul di rumah, anak selalu bermanja-manja dengan mereka,
bercerita tentang kejadian yang telah dia lewati seharian itu dan juga meminta
sesuatu yang dia inginkan. Bapak dan ibu X hanya bisa menanggapinya dengan
mendengarkan dan mengiyakannya.
Bapak
dan ibu X tidak pernah melakukan pembatasan-pembatasan aktivitas anak namun hal
ini disertai penjelasan mengapa hal itu harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan. Karena bagi mereka masa anak-anak adalah masa bermain. Tetapi anak
tetap diberikan beberapa batasan yang tidak boleh dilakukanya, jika anak
melewati batasan tersebut, maka anak akan mendapatkan akibat dari perbuatanya
dan mengerti dan faham bahwa dia tidak boleh lagi melewati batasan tersebut.
Tetapi walaupun begitu terkadang anak melakukan hal tersebut untuk mencari
perhatian dari orangtuanya.
Bapak
dan ibu X sangat memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya, mereka rela bekerja
dari pagi sampai dengan sore hari hanya untuk mensejahterakan dan membahagiakan
keluarganya, walaupun begitu, mereka merasakan akibat dari pekerjaan mereka
yang menyebabkan mereka kurang bisa merespon kebutuhan anak-anaknya. Jadi apa
yang anak mereka inginkan akan langsung mereka penuhi, walaupun keinginan anak
tidaklah terlalu penting.
Ketika
bapak dan ibu X bekerja, mereka mempercayai anaknya (Yogi) kepada bibiknya yang
bernama Dini. Dini yang hanya bersekolah sampai dengan kelas 3 SMP dikarenakan
masalah ekonomi keluarga, lebih memilih membantu orangtuannya dalam hal
membersihkan rumah, memasak dan menjaga keponakannya. Dini adalah bibik dari
Yogi yang paling dekat dengannya, karena Yogi selalu ditemani Dini jika bapak
dan ibunya sedang pergi bekerja. Oleh karena itu, yang lebih banyak
berinteraksi dengan Yogi adalah bibiknya sendiri. Bapak dan ibu percaya pada
Dini bahwa dia bisa membimbing dan menjaga keponakannya ketika sedang didalam
ataupun diluar rumah.
Sebagai
seorang bibik, Dini selalu menjaga dan mengarahkan keponakannya dalam segala
hal, mencontohkan semua hal baik dan melarang hal yang menurutnya tidak baik.
Dini selalu menasehati Yogi jika Yogi berbuat hal yang tidak baik. Ketika Yogi
sedang bermainpun Dini selalu ada di dekatnya. Dini melakukannya dengan senang
hati.
Setelah
bapak dan ibu X berangkat kerja, Dinilah yang bertanggungjawab dalam hal
mengasuh keponakannya (Yogi) Dari pagi hari sampai dengan sore hari Dini
menemani dan mengontrol keponakannya itu dengan baik, jika sebentar saja
keponakanya tidak terlihat, dini langsung mencarinya sampai ketemu, Dini tidak
pernah meninggalkan keponakannya kecuali jika orangtuannya pulang bekerja.
Walaupun Dini selalu ada untuk keponakannya, tetapi hal tersebut tidak
mengganggu kegiatan Dini bermain dengan teman-temannya, terkadang Dini selalu
mengajak Yogi untuk ikut serta bermain bersamanya.
Setelah
bapak dan ibu X pulang kerumah, Dini lalu menceritakan apa saja yang telah
dialaminya dengan keponakan kesayanganya tesebut. Hal itu dilakukannya untuk
membuktikan bahwa dia bisa menjadi seorang bibik sekaligus pengasuh yang
menyayangi keponakannya.
d.
Perkembangan sosial emosional
anak usia 4-5 tahun.
Berdasarkan hasil wawancara
dan observasi keluarga X mengenai perkembangan sosial emosional anak, keluarga
X menjelaskan bahwa dalam proses perkembangan sosial emosional yang dimiliki
oleh anak mereka bisa dilihat dari kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh
anak mereka.
Pada usianya,
Yogi belum bisa menjadi anak yang mandiri. Setiap harinya dia masih harus
dibangunkan oleh ibunya, begitupun ketika dia ingin tidur, dia masih harus
ditemani/dikeloni oleh ibunya dan mandipun harus ditemani oleh ibunya, jika
ibunya tidak menemaninya Yogi pun tidak akan bisa bangun/tidur/mandi. Tetapi
dalam hal makan, Yogi tidak perlu dibantu oleh ibunya. Dia sudah bisa makan
dengan menggunakan sendok sendiri, tetapi memang dalam kerapihan Yogi masih
belum bisa makan yang tertib, karena ketika dia makan nasi ataupun lauk yang
dia makan bisa berantakan kemana-kemana. Padahal dengan bapak dan ibunya
bekerja, mereka berharap bahwa anak mereka dapat hidup mandiri. Tetapi hal itu
tidak tercapai, justru dengan lamanya bekerja, anak akan semakin mencari
perhatian kedua orangtuanya sehingga mereka ingin selalu dibantu oleh
orangtuannya, khususnya oleh ibunya.
Pada saat semua anggota keluarga
kumpul, Yogi selalu dimanjakan oleh keluarganya. Karena Yogi anak tunggal dari
kedua orangtuannya, sehingga apapun yang Yogi inginkan selalu dituruti oleh
keluargnya. Sama halnya dengan di rumah, di sekolah ataupun diluar rumah Yogi
belum dapat hidup mandiri. Seperti berangkat sekolah selalu saja harus ditemani
oleh ibunya, jika bermainpun harus ditemani oleh bibiknya. Karena orangtua yang
selalu menurutinya, sehingga anak jarang belajar menghormati orang lain dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin
mendominasi,egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan-kesulitan dalam
hubungan dengan teman sebayanya. Sehingga
Yogi belum bisa menjalin hubungan baik dengan teman sebayanya. Walaupun
begitu Yogi adalah anak yang sangat terbuka kepada keluarganya. Dengan sikapnya
yang terbuka itu membuat semua orang yang ada di sekitarnya menjadi dekat
dengannya. Tidak segan-segan dia bercerita kepada teman-temannya atau
keluarganya tentang pengalaman yang telah dialami dan sedang dia alami.
PEMBAHASAN
IDENTIFIKASI PENCAPAIAN KEMAMPUAN
SOSIAL EMOSIONAL
ANAK USIA 4-5 TAHUN
NO
|
Tahap
Perkembangan
|
Keluarga
X
|
Keluarga
Y
|
Keluarga
Z
|
1
|
Menunjukan
sikap mandiri dalam memilih kegiatan
|
Anak
X belum bisa melakukan kegiatannya sendiri, dia masih perlu dibantu oleh
kedua orangtuannya. Tetapi jika sedang bermain, dia bisa memilih permainan
apa yang dia ingin lakukan bersama teman-temannya
|
Anak
Y sudah bisa melakukan kegiatan hariannya tanpa dibantu oleh kedua
orangtuannya. Begitupun dalam hal bermain, dia sudah dapat memilih teman dan
memilih permainan apa saja yang ingin dia lakukan bersama dengan
teman-temannya
|
Anak
Z belum bisa menunjukan sikap mandiri hal, baik dalam kegiatannya didalam
rumah, maupun kegiatannya diluar rumah.
|
2
|
Mau
berbagi menolong dan membantu teman
|
Pada
hal berbagi, menolong dan membantu teman, anak X sudah bisa melakukannya
walaupun terkadang dia masih memiliki sifat egois terhadap barang yang baru
dimilikinya. Tetapi dalam hal menolong teman, dia sudah bisa melakukannya
dengan baik, seperti membantu menegahi pertengkaran ketika bermain.
|
Anak
Y sudah bisa berbagi, menolong dan membantu anggota keluarganya. Begitupun
pada saat dia sedang bersama dengan teman-temannya, dia suka berbagi makanan
ataupun barang yang dia miliki kepada temannya, seperti meminjamkan pensil
ataupun penghapus kepada teman sebangkunya.
|
Karena
anak Z adalah anak yang sangat pemalu terkadang dia masih perlu dibantu untuk
memiliki sikap berbagi menolong dan juga membantu teman-temannya walaupun
sebenarnya didalam dirinya sudah ada keinginan untuk bisa melakukan semua hal
itu tetapi dia masih perlu mendapatkan arahan dari kedua orangtuanya.
|
3
|
Menunjukan
antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif
|
Antusiasme
anak X dalam bermain sudah sangat terlihat dari sikapnya yang selalu
bersemangat dalam melakukan semua permainan di sekolah maupun di lingkungan
rumahnya
|
Pada
saat bermain, antusiasme dalam permainan kompettif anak Y sudah bisa terlihat
dengan baik. Dia sealu berusaha untuk menjadi juara dalam semua permainan,
memang walaupun dia selalu kalah oleh teman laki-lakinya
|
Sikap
antusiasme anak Z masih belum terlihat, karena sikap pemalu dan pendiamnya
yang membuatnya tidak bersemangat untuk ikut berkompetisi dalam permainan.
Tetapi jika dalam permainan biasa, dai sangat senang untuk mengikutinya.
|
4
|
Mengendalikan
perasaan
|
Anak
X belum bisa mengendalikan perasaannya dengan benar, dia masih memiliki sifat
yang emosional jika keinginan dia tidak dapat di penuhi oleh kedua
orangtuannya, sehingga dia perlu dibantu dan diarahkan dalam mengendalikannya
|
Dalam
mengendalikan perasaan, anak Y belum bisa melakukannya dengan baik. Dia suka
menyimpan perasaannya jika dia sedang sedih. Sehingga menjadikan dia lebih
banyak diam
|
Anak
Z belum bisa mengendalikan perasaannya dengan baik, dia masih memiliki sifat
murung dan memendam perasaannya yang menyebabkan dia menjadi anak yang mudah
tersinggung.
|
5
|
Menaati
peraturan yang berlaku dalam suatu permainan
|
Pada
saat bermain, anak X sebenarnya sudah bisa menaati peraturan permainan yang
berlaku. Tetapi terkadang dia suka melanggar
|
Menaati
peraturan yang berlaku dalam suatu permainan sudah dapat dilakukan dengan
baik oleh anak Y. dia tidak pernah melanggar peraturan tersebut, dan selalu
mengikuti permainan tersebut dengan senang hati
|
Dalam
menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan anak Z sudah bisa
melakukannya, walaupun terkadang dia merasa malas untuk mengikuti peraturan
tersebut sehingga dia tidak mengikuti permainan tersebut
|
6
|
Menunjukan
rasa percaya diri
|
Pada
saat bermain, anak X sudah bisa menunjukan rasa percaya dirinya dihadapan
teman-temannya, begitupun dihadapan orang yang belum dia kenal. Sehingga dia
dapat dengan mudah bergaul dengan orang yang baru dia kenal.
|
Anak
Y sudah memiliki rasa percaya diri baik dalam bermain ataupun dalam melakukan
semua aktivitasnya, tetapi jika dia bertemu dengan orang yang belum dia
kenal, dia akan menjadi anak yang pemalu.
|
Anak
Z belum memiliki rasa percaya diri yang bagus, dia masih menunjukan sikap
pemalunya dalam bermain maupun dalam hal yang lainnya. Sehingga dia masih
perlu dibantu untuk mengembangkan rasa percaya dirinya.
|
7
|
Menjaga
diri sendiri dari lingkungannya
|
Anak
X adalah anak yang pemberani dalam kesehariannya, dia dapat menjaga diri dari
lingkungannya. Jika ada binatang yang menggannggunya, dia bisa mengusirnya
tanpa dibantu oleh orang lain.
|
Anak
Y belum bisa menjaga diri sendiri dari lingkungannya, dikarenakan dia adalah
anak perempuan, sehingga dia belum berani menghadapi tantangan yang ada di
lingkungannya
|
Sama
halnya dengan anak Y anak Z pun bisa menjaga dirinya dari lingkungan tempat
tinggalnya.
|
8
|
Menghargai
orang lain
|
Sebenarnya
anak X sudah bisa belajar untuk menghargai orang lain, tetapi terkadang dia
menunjukan rasa egoisnya kepada orang lain, sehingga dia belum bisa belajar
menghargai temannya dengan baik
|
Anak
Y memiliki sifat yang baik dan sudah bisa belajar untuk menghargai temannya
ataupun orang lain. Sehingga anak Y sangat disukai oleh teman-temannya dan
memiliki banyak teman.
|
Anak
Z belum bisa menghargai orang lain, dia masih memikirkan dirinya sendiri
dalam melakukan apapun. Tetapi terkadang dia bisa menghargai temannya jika
temannya sedang dalam keadaan sedih.
|
Sumber: analisis peneliti,2011
Berdasarkan
pemaparan table diatas, anak dari keluarga X, Y dan Z mereka memiliki
percapaian perkembangan sosial emosional yang berbeda-beda. Anak dari keluarga
X dan Z adalah anak yang manja dimana segala kegiatan yang menyangkut dengan
dirinya selalu dilakukan oleh orangtuannya atua keluarganya seperti kemandirian
(makan, mandi, mengurus barang-barnag miliknya sendiri). Keadaan demikian
disebabkan oleh faktor lingkungan dan pendidikan keluarga. Sebenarnya orangtua
belum tepat mengartikan sikap kasih sayang terhadap anaknya, karena sebagian
besar mereka terlalu memanjakan anaknya dengan memenuhi segala keinginan anak
tanpa didasari alasan yang tepat. Sikap tersebut dapat mengakibatkan anak
menjadi ketergantungan terhadap pelayanan dari orangtuannya.
Sedangkan
anak dari keluarga Y memiliki pencapaian perkembangan sosial emosional yang
bagus, hamper semua tahapan tersebut sudah dimiliki olehnya. Keberhasilan
tersebut didapatkannya dari faktor lingkungan keluarga yang mendidik anak untuk
dapat hidup mandiri. Selain itu anggota keluarga lainnya seperti kakak-kakanya
yang sudah dewasa dan mengajarkannya untuk tidak bersikap manja kepada kedua
orangtuannya, sehingga anak dari keluarga Y dapat mencapai perkembangan sosial
emosional dengan baik.
Faktor
usia yang masih dini menyebabkan anak belum bisa bagaimana cara menghargai orang
lain (pendapat orang lain dan milik orang lain). Begitupun halnya dengan rasa
tanggung jawab dan kemampuan mengungkapkan diri mereka belum bisa karena faktor
usia yang masih dini dan faktor lingkungan serta faktor keluarga. Dimana anak
seusia mereka masih dalam pengasuhan yang dimanjakan oleh orangtuannya.
Berdasarkan data, bahwa anak dalam bekerjasama dengan teman dan anggota
keluarganya ini sebenarnya tergantung dari bagaimana orangtua melakukan
pendidikan di keluarga masing-masing.
Menurut
Syamsu Yusuf LN, (2005:122), perkembangan sosial emosional merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses untuk
menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan
diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.
Selanjutnya
menurut Syamsu Yusuf LN, (2005:125), perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya, baik orangtua, anak keluarga, orang dewasa lainnya atau
teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau
memberikan keperluan terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan
dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun apabila lingkungan
sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orangtua kasar, sering memarahi,
acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan, pengajaran atau pembiasaan
terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi
pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat
minder, (2) senang mendominasi orang lain, (3) bersifat egois, (4) senang
mengisolasi diri, (5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan (6) kurang
memperdulikan norma dalam perilaku.
Demikian
yang terjadi di tiga keluarga X, Y dan Z. Lingkungan sosial di tiga keluarga
tersebut memang kurang kondusif, dikarenakan kurangnya waktu orangtua untuk
memberikan pendidikan, bimbingan ataupun teladan kepada anaknya. Mereka lebih
menyerahkan hal itu kepada anggota keluarga yang mereka percayai untuk mengasuh
atau membimbing anaknya selama mereka tidak di rumah atau bekerja.
Sedangkan
emosi menggambarkan tentang bagaimana perasaan individu tentang dirinya
sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Perasaan yang muncul biasanya
disertai dengan perubahan fisik seperti tubuh yang menegang, gemetar, mengigil,
aliran darah yang cepat, begitu juga dengan raut muka yang juga turut mengalami
perubahan. Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005:115), emosi merupakan warna afektif
yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna
afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi
suatu situasi tertentu, seperti gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci
(tidak senang), dan perasaan yang lainnya.
Perkembangan
emosi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial walaupun masing-masing
ada kekhususannya. Yang berkaitan dengan emosi adalah perhatian, pujian, kasih
sayang dan lain-lain. Dalam hal ini, anak dari ketiga keluarga X,Y dan Z sudah
dapat mengungkapkan perasaan atau emosi yang ada didalam dirinya. Jika mereka
sedang senang, sedih ataupun marah, mereka selalu mengungkapkannya secara
langsung baik terhadap orangtuannya maupun kepada teman ataupun orang lain.
Pada saat mereka melakukan suatu hal yang baik, mereka akan diberikan
penghargaan berupa pujian, doa dan kasih sayang yang ditujukan dengan
memberikan hadiah atau barang yang ingin dimilikinya oleh orangtuanya. Sehingga
anak merasa bahwa mereka mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua
orangtuannya.
Bahwa
perkembangan sosial emosional anak dapat terlihat dari bagaimana ketiga
keluarga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang berbentuk kemandirian
menghargai orang lain miliki orang lain dan pendapat orang lain, rasa
tanggungjawab, kemampuan bekerjasama dan kemampuan mengungkapkan diri, ternyata
dari ketiga anak telah memiliki kemampuan mengungkapkan diri, sebagaimana yang
diajarkan oleh orangtuannya untuk terbuka kepada keluarganya. Sebagaimana yang
diajarkan oleh orangtuannya untuk terbuka kepada keluargannya.
Seperti
yang dikemukakan oleh Anggani Sundono, MA (1999:55), faktor sosial emosional
merupakan kepribadian dan pembiasaan yang dapat membentuk:
a.
Kemandirian, yaitu mampu
mengurus diri sendiri. Dalam kemandirian anak diri keluarga X dan Z belum
memiliki sifat kemandirian, karena mereka masih dibantu oleh keluarganya
didalam segala hal. Sedangkan anak dari keluarga Y sudah bisa mandiri dalam
melakukan segala aktivitasnya.
b.
Kebiasaan menghargai orang lain
yaitu apa yang dimiliki orang lain dan pendapat orang lain. Anak harus belajar
menghargai orang lain yang ada di sekitarnya, anak dari keluarga X dan keluarga
Z belum bisa menghargai teman ataupun orang lain yang ada di sekitarnya.
Sedangkan anak dari keluarga Y sudah bisa menghargai temannya.
c.
Rasa tanggungjawab. Rasa
tanggungjawab belum dimiliki oleh kedua anak dari keluarga X dan keluarga Y.
tetapi anak dari keluarga Z sudah bisa bertanggungjawab akan yang dia telah
lakukan.
d.
Kemampuan bekerjasama dna
kemapuan mengungkapkan diri. Dalam hal ini anak di keluarga Y dan Z sudah dapat
bekerja sama dengan baik dalam bermain dengan teman sebayanya. Sedangkan anak
dari keluarga X belum bisa bekerjasama dengan baik dalam bermain dengan teman
sebayanya. Menurut piaget (1932) dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidikan PAUD
Nonformal Tingkat Dasar menemukan bahwa interaksi teman sebaya sebagai satu
sumber kognitif utama juga sebagai perkembangan sosial, terutama sekali untuk
perkembangan bermain peran dan empati. Melalui pembangunan dan mempertahankan
perhubungan teman sebaya dan pengalaman-pengalaman sosial yang berbedabeda
tipenya, khususnya konflik teman sebaya, anak-anak memperoleh pengetahuan
tentang dirinya dan orang lain.
Dari pernyataan tersebut sudah jelas bahwa anak dari ketiga keluarga
X dan Z belum berkerativitas dengan positif, dan ini akan berguna bagi
perkembangan mereka selanjutnya, sedangkan anak dari keluarga Y sudah bisa
mampu berkerativitas dengan positif. Sebagai orangtua hendanya memperhatikan
beberapa syarat penting guna mempelajari sosial emosional agar tujuan yang
ditetapkan dapat tercapai dan perkembangan sosial emosional pada anak harus di
pelajari yaitu melalui bimbingan atau orangtuannya yakni dengan memberikan cara
pemberian contoh dan memotivasi mereka supaya mereka memiliki keyakinan bahwa
mereka akan mampu melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sosial
emosionalnya. Dan khususnya pada anak usia dini ini sangat penting mengingat
pada masa ini merupakan masa keemasan yang semestinya perlu diterapkan hal-hal
positif bagi pertumbuhan sosial emosional anak, hendaknya orangtua dapat
merangsang anak untuk melakukan kegiatan dan dapat menumbuhkan keterampilan dan
kreativitas anak.
TABEL.
IV.5
MATRIKS HASIL
PEMBAHASAN
Aspek
|
Sumber Data
|
Keluarga X
|
Keluarga Y
|
Keluarga Z
|
Pendidikan
|
Orang tua
|
Latar belakang pendidikan orang
tua yang rendah, membentuk pola asuh membebaskan. Pendidikan orangtua yang
rendah menjadi salah satu faktor “ketakutan” untuk mendidik anak sehingga
dalam hal pendidikan lebih mempercayakan pada sekolah, guru ngaji atau
tetangga dan saudaranya yang memiliki pendidikan lebih tinggi.
|
Latar belakang pendidikan
orangtua, memberikan pengaruh yang signifikan kepada anak. Bentuk pola asuh
yang membebaskan anak ( tidak dipantau langsung oleh orangtua), dan condong
lebih mempercayakan pendidikan anaknya di sekolah.
|
Latar belakang pendidikan
orangtua sangatlah berpengaruh terhadap pola asuh yang diterapkan kepada
anak, dengan latar belakang pendidikan yang rendah memicu orang tua
menerapkan pola asuh tertutup bahkan bebas, latar belakang pendidikan yang
rendah. Menekankan kepecayaan pendidikan kepada sekolah
|
Pekerjaan
|
Orang tua
|
Mata pencaharian dengan memiliki
lahan sendiri, mendorong keleluasaan orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya (aspek ekonomi), sehingga dengan kepemilikan lahan sendiri akan
memberikan peluang komunikasi orang tua dengan anak dan orang tua dapat
mengatur waktu pertemuan orang tua dengan anak sesuai keinginan.
|
Memiliki lahan sendiri, memiliki
penghasilan yang lebih dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pengelolaan
lahan sendiri, memberikan kebebasan waktu untuk bekerja sehingga akan
memberikan kesempatan pula kepada orang tua untuk berkomunikasi atau
menyediakan waktunya khusus untuk anak.
|
Mata pencaharian buruh tani
lebih terikat dengan waktu, karena penghasilannya lebih rendah( keuntungan
dibagi dengan pemilik lahan). Tentunya, mata pencaharian buruh tani cenderung
sulit untuk menyempatkan waktu dengan anak, sehingga lebih banyak anak
bermain diluar dengan dititipkan kepada saudaranya.
|
Lama bekerja
|
Orang tua
|
Lama bekerja ibu yang lebih dari
12 jam dan ayah yang pada malam harinya harus kembali untuk menjaga kebunnya
sangatlah menyita waktu untuk bertemu antara orang tua dengan anak peranan
orang paling dekat seperti nenek atau kakeknya dalam menggantikan peran orang
tua dianggap lebih efektif. Karena, lingkungan yang salah dengan perhatian
yang kurang akan membentuk kepribadian anak yang negatif.
|
Jumlah lama pekerjaan lebih dari
12 jam, akan sangat menyita kebutuhan kebersamaan antara orang tua dengan
anak, sehingga mencoba semaksimal mungkin mengelola pekerjaannya dan
meluangkan waktunya untuk memberikan perhatian kepada anak.
|
12 jam bekerja memberikan
keterbatasan waktu, terutama ibu dalam memberikan pengasuhannya kepada anak.
Sehingga, pembagian waktu dan pekerjaan sangatlah penting antara ibu dan ayah
mungkin ibu bekerja selama 6 jam kemudian pulang ke rumah dan ayah bekerja
selama 12 jam sesuai dengan target waktu bekerja.
|
Pengetahuan atau pemahaman
orangtua terhadap pola asuh anak
|
Pemahaman pola asuh orang tua
terhadap anak, secara teoritis (melalui jalur pendidikan khusus) tidak
diperolehnya, tetapi pemahaman pola asuh orangtua terhadap anak diperoleh
dari kebiasaan atau norma keluarga, yang dibawa sejak turun temurun sehingga
menjadi kebiasaan atau norma yang melekat erat.
|
Pemahaman pola asuh orangtua
terhadap anak, lebih banyak diperoleh melalui jalur pendidikan informal
(keluarga) sebagai bentuk budaya atau kebiasaan keluarga untuk membangun
generasi penerusnya. Pelestarian budaya atau norma yang dimiliki oleh
orangtua, secara turun temurun dilakukan melalui bentuk pola asuh orangtua
terhadap anak-anaknya didalam keluarga.
|
Pemahaman pola asuh orang tua
terhadap anak, lebih banyak di peroleh secara turun temurun. Latar belakang
pendidikan yang rendah serta kesibukan orangtua dalam bekerja, membentuk
kehidupan konstan keluarga( tetap), tidak ingin berfikir rumit-rumit tetapi yang
mudah dicerna dan sederhana.
|
|
Pengetahuan atau pemahaman
orangtua terhadap perkembangan sosial emosional anak
|
Orang tua tidak mengerti dan
paham secara teoritis tentang perkembangan sosial emosional anak, tetapi
lebih menekankan pada logika berfikir positif orang tuannya, yaitu: “jika
anak di didik dengan positif maka dewasa kelak akan positif”.
|
Orang tua tidak mengerti dan
paham secara teoritis tentang perkembangan sosial emosional anak, tetapi
orang tua memiliki prinsip dalam mendidik anaknya, yaitu “anak tidak boleh
menyimpang dari aturan agama dan pemerintah
|
Orang tua tidak mengerti dan
paham secara teoritis tentang perkembangan sosial emosional anak, tetapi
orang tua berusaha memberikan perhatiannya kepada anak, walau sedikit waktu.
Karena orang tua memegang prinsip “jika anak tidak diperhatikan termasuk
penyiksaan pasif”.
|
|
Pola asuh
|
Orang tua
|
Terjadinya penyimpangan perilaku
anak disebabkan kurangnya ketergantungan antara anak dengan orangtua. Hal ini
terjadi karena antara anak dan orang tua tidak pernah sama dalam segala hal
ketergantungan anak kepada orang tua ini dapat terlihat dari keinginan anak
untuk memperoleh perlindungan, dukungan dan asuhan dari orang tua dalam
segala aspek kehidupan. Selain itu, anak yang menjadi “masalah” kemungkinan terjadi
akibat dari tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan tempat tinggalnya.
Dengan kata lain perilaku anak merupakan reaksi atas perlakuan lingkungan
terhadap dirinya. Sehingga secara umum, pola asuh yang diterapkan adalah pola
asuh authoritative dan pola asuh permissive indulgent. Walaupun begitu pada
kenyataannya keluarga X tidak terpaku pada kedua pola asuh itu saja, tetapi
mereka juga melakukan jenis pola asuh yang lainnya.
|
Secara umum, pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua kepada anaknya yaitu pola asuh permissive indulgent
dan pola asuh authoritative. Permissive indulgent atau pengasuhan yang
menuruti adalah gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan
anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. orang tua macam ini
membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah
belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan
keinginannya.
Sedangkan pola asuh
authoritative adalah gaya orangtua mendorong anak untuk mandiri namun masih
menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. tindakan verbal member dan
menerima dimungkinkan, dan orangtua bersikap hangat dan penyayang terhadap
anak. Orangtua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagi
respons terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku
anak yang dewasa. Mandiri dan sesuai dengan usia mereka.
|
Pola asuh yang diterapkan yaitu
pola asuh authoritative, yang senantiasa memberikan kebebasan kepada anak
untuk berkreasi dan bersosialisasi di bawah pengawasan yang lebih tua. Dan
pola asuh permissive yang menuruti semua keinginan anak tersebut dan anak
tunggal yang dimiliki oleh keluarga. Sehingga anak diperlakukan manja oleh
keluarganya. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa
pengawasan yang cukup darinya, mereka cenderung tidak menegur atau
memperhatikan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh keluarga, namun tipe ini bersifat hangat
sehingga seringkali disukai oleh semua anak.
Tetapi, anak yang memiliki orang
tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan
mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya.
|
Perkembangan sosial emosional
anak
|
Anak usia 4-5 tahun
|
Anak jadi mudah tersinggung,
pemurung, tidak bahagia dan mudah terpengaruh. Namun anak memiliki sikap
bersahaja degan orang lain, memiliki sikap percaya diri yang tinggi, memiliki
rasa yang ingin tahu yang tinggi dan mau bekerjasama.
|
Anak menjadi lebih banyak dia,
dan mudah terpengaruh oleh orang lain. Namun anak memiliki sikap mandiri,
bersahabat (mudah bergaul), memiliki sikap percaya diri, cepat diajak
kerjasama dan sikap ingin tahu yang tinggi.
|
Anak terlihat pendiam sikap
ketakutan untuk bersikap (melakukan sesuatu), emosional, karena bentuk
komunikasi yang diterapkan antara orang tua dengan anak sangatlah kurang.
Namun anak memiliki sikap percaya diri, mudah bergaul dan mudah di ajak
kerjasama.
|
Sumber : Analisis Peneliti,2011
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis
data yang telah dikemukakan pada bab IV,peneliti dapat menyimpulkan hasil
penelitian ini sebagai berikut:
1.
Pemahaman orang tua mengenai
pola asuh anak untuk mengembangkan sosial emosional anak usia dini.
Pengetahuan atau pemahaman
pola asuh orang tua pola asuh anak untuk mengembangkan sosial emosional anak,
secara teoritis mereka tidak mengetahuinya dan tidak pernah mendapatkannya dari
jalur pendidikan formal,buku maupun penyuluhan tentang hal tersebut. Tetapi
pemahaman pola asuh orang tua terhadap anak lebih banyak mereka dapatkan
melalui jalur pendidikan informal (keluarga) dan dari kebiasaan atau norma keluarga,
yang dibawa sejak turun temurun sehingga menjadi kebiasaan atau norma yang
melekat erat dan berguna untuk membangun generasi penerusnya. Dan faktor dari
latar belakang pendidikan yang rendah serta kesibukan orang tua dalam bekerja,
dapat menjadikan kehidupan yang ada didalam keluarga menjadi kehidupan keluarga
yang konstan (tetap), sehingga orangtua tidak ingin menyulitkan diri dan
berfikir rumit mengenai hal itu, tetapi hal tersebut dapat dengan mudah dicerna
dan difahami secara sederhana.
Begitupun
dengan pengetahuan ataupun pemahaman tentang perkembangan sosial emosional
anak, karena latar belakang pendidikan orang tua yang rendah, sehingga orangtua
tidak mengerti dan belum paham secara teoritis tentang perkembangan tersebut,
tetapi lebih menekankan pada logika berfikir positif orang tuanya bahwa “jika
anak di berikan pendidikan yang positif, maka anak akan selamanya berperilaku
positif”. Dan orangtua juga memiliki prinsip dalam mendidik anaknya, yaitu :
walaupun waktu yang mereka miliki untuk bersama dengan anak sangat terbatas,
tetapi orangtua selalu berusaha memberikan perhatian kepada anaknya. Karena
dengan perhatian yang mereka berikan dapat dijadikan sebagai obat rasa bersalah
mereka terhadap anak mereka yang selalu mereka tinggal selama mereka pergi
bekerja.
2.
Pola asuh orang tua yang
bekerja di Desa Pagerwangi Kecamatan Lembang .
Dikarenakan kurangnya
interaksi orangtua dengan anak dan kurangnya control orangtua terhadap
aktivitas anak, menjadikan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua yang bekerja
kepada anaknya yaitu pola asuh permissive indulgent dan pola asuh tersebut
mereka mengharapkan bahwa anak mereka anak tetap menjadi pribadi yang baik
walaupun mereka tidak memiliki waktu bersama dengan orangtuanya. Walaupun
begitu pada kenyataannya orangtua tidak terpaku pada kedua pola asuh itu saja,
tetapi mereka juga melakukan jenis pola asuh yang lainya.
3.
Perkembangan sosial emosional
anak usia 4-5 tahun di Desa pagerwangi kecamatan lembang
Perkembangan sosial
emosional anak usia 4-5 tahun pada keluarga yang orangtuanya bekerja mengalami
hambatan dalam pencapaian perkembangannya. Mereka belum dapat mencapai tahapan
perkembangan sosial emosionalnya secara matang dikarenakan kurangnya didikan
atau bimbingan yang diberikan orangtuanya dalam memahami pencapaian kematangan
dalam hubungan sosial. Keadaan demikian disebabkan oleh faktor lingkungan dan
pendidikan keluarga.
Sebenarnya orangtua belum
tetap mengartikan sikap kasih sayang terhadap anaknya, karena sebagian besar
mereka terlalu memanjakan anaknya dengan memenuhi segala keinginan anak tanpa
didasari alasan yang tepat. Sikap tersebut dapat mengakibatkan anak menjadi
ketergantungan terhadap pelayanan dari orangtuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ira Petranto. (2005). Pola Asuh
Anak. http://www.polaasuhanak.com. (Asscesed, 8th April, 12.15 pm)
Rina M. Taufik. (2007). Pola Asuh
Orang Tua. http://www.tabloid_nakita.com. (Asscesed, 8th April, 12.15 pm)
Elizabeth B. Hurlock. (1999). Perkembangan
Anak. Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Theresia S. Indira. (2008).
Pola Asuh Penuh Cinta. http://www.polaasuhpenuhcinta.com. (Asscesed, 8th April,
12.15 pm)
Ahmadi. 2003. Ilmu Pendidikan.
Jakarta. PT Rineka Cipta.
Alimul, Hidayat. 2007. Metode Penelitian
dan Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
Arikunto. 2003. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: . PT Rineka Cipta.
Azwar, S. 2009. Metode penelitian.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bahri.S. 2004. Pola Komunikasi Orang
Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta. PT Rineka Cipta.
Desmita. 2009. Psikologi
Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Galihjoko, 2009. Pengaruh Tingkat
pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak pada masyarakat. Dari Http:
www.indoskripsi.com. Diakses tanggal 22 Maret 2010
Godam64. 2008. Jenis /Macam Tipe Pol
Aasuh Orang Tua Pada Anak Dan Cara Mendidik/Mengasuh Anak Yang Baik. Dari
Http:www.Organisasi.org komunitas dan perpustakaan online.Diakses taanggal 22
Maret 2010.
Junaidi, W. 2010. Macam-Macam Pola
Asuh Orang Tua. Dari Http: www.blogspot.com. Diakses tanggal 22 Maret 2010
Latipun. 2005. Psikologi Konseling.
Malang: UMM Press.
Nasir. 2005. Metode Penelitian.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan
Teoritis Dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ngalim. 2009. Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan
Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). . Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen
Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Patmonodewo,S. 2003. Pendidikan Anak
Pra Sekolah. Jakarta. PT Rineka